Presentation
1. PEREDARAN SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN
o Peredaran Obat menurut Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran dan atau penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan atau pemindahtanganan.
o Departemen Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan nomor : 1184 tahun 2004 tentang Pengamanan Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga.
2. PENGGOLONGAN OBAT
o Peraturan Menteri Kesehatan Rl Nomor 917/Menkes/Per/X/1993 yang kini telah diperbaiki dengan Permenkes Rl Nomor 949/Menkes/Per/VI/2000. Penggolongan obat ini terdiri dari: obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotek, obat keras, psikotropika dan narkotika.
3. OBAT BEBAS
o Obat bebas adalah obat yang dapat dijual bebas kepada umum tanpa resep dokter, tidak termasuk dalam daftar narkotika, psikotropika, obat keras, obat bebas terbatas dan sudah terdaftar di Depkes R.I.
o Contoh : Minyak Kayu Putih , Obat Batuk Hitam , Obat Batuk Putih , Tablet Paracetamol , Tablet Vitamin C,
o Penandaan obat bebas diatur berdasarkan S.K. Menkes Rl Nomor 2380/A/SKA/I/1983 tentang tanda khusus untuk obat bebas dan obat bebas terbatas.
o Tanda khusus untuk obat bebas yaitu bulatan berwarna hijau dengan garis tepi warna hitam, seperti terlihat pada gambar berikut :
4. OBAT BEBAS TERBATAS
o Daftar "W“ "Waarschuwing" artinya peringatan.
o Obat bebas terbatas adalah Obat : Keras yang dapat diserahkan kepada pemakainya tanpa resep dokter, bila penyerahannya memenuhi persyaratan sebagai berikut :
o a. Obat tersebut hanya boleh dijual dalam bungkusan asli
o dari pabriknya atau pembuatnya
o b. Pada penyerahannya oleh pembuat atau penjual harus
o mencantumkan tanda peringatan yang tercetak sesuai coth
o Tanda peringatan tersebut berwarna hitam, berukuran panjang 5 cm, lebar 2 cm dan memuat pemberitahuan berwarna putih
5. OBAT BEBAS TERBATAS
o P No. 1 : Awas ! Obat Keras
o Bacalah aturan memakainya
o P No. 2 : Awas ! Obat Keras
o Hanya untuk kumur jangan ditelan
o P No. 3 : Awas ! Obat Keras
o Hanya untuk bagian luar dari badan
o P No. 4 : Awas ! Obat Keras
o Hanya untuk dibakar
o P No. 5 : Awas ! Obat Keras
o Tidak boleh ditelan
o P No. 6 : Awas ! Obat Keras
o Obat wasir, jangan ditelan
6. OBAT BEBAS TERBATAS
o Penandaan : Keputusan Menteri Kesehatan Rl No. 2380/A/SK/VI/83 tanda khusus untuk obat bebas terbatas berupa lingkaran berwarna biru dengan garis tepi berwarna hitam
7. LAMBANG GOLONGAN OBAT
8. OBAT GENERIK
 O bat generik  obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat yang dikandungnya.
 C ontoh parasetamol generik berarti obat yang dibuat dengan kandungan zat aktif parasetamol, dipasarkan dengan nama parasetamol, bukan nama merek seperti Panadol (Glaxo), Pamol (Interbat), Sanmol (Sanbe)
 Produsen obat dalam negeri lebih banyak mengeluarkan obat me-too , alias versi generik dari obat yang telah habis masa patennya yang lalu diberi merek dagang.
 Kalangan perusahaan farmasi di Indonesia yang lokal — cenderung memposisikan produk semacam ini sebagai “obat paten” (mungkin karena mereknya didaftarkan di kantor paten), walau sebenarnya lebih tepat disebut sebagai “ branded generic ”, alias obat generik bermerek
9. OBAT GENERIK
 Obat generik ditargetkan sebagai program pemerintah untuk meningkatkan keterjangkauan pelayanan kesehatan bagi masyarakat luas khususnya dalam hal daya beli obat.
 Oleh karena pemasaran obat generik tidak memerlukan biaya promosi (iklan, seminar, perlombaan, dll) maka harga dapat ditekan sehingga produsen (pabrik obat) tetap mendapat keuntungan, begitu pula konsumen mampu membeli dengan harga terjangkau.
10. OBAT GENERIK
o P ada awal kebijakan ini diluncurkan (awal tahun 1990-an), pemerintah mencanangkan penggunaan obat generik (OG), artinya pabrik pembuat obat tidak boleh mencantumkan logo pabrik, namun tetap mencantumkan nama pabriknya.
o S eiring berjalannya waktu, desakan datang dari produsen obat menginginkan adanya logo pada obat buatannya. Maka muncullah Obat Generik Berlogo (OGB).
o Pemerintah merasa perlu meluluskan permintaan iSndustri ini asal harga OGB tetap dikontrol oleh pemerintah (khususnya Depkes).
o Oleh karena itu, sekarang dapat kita jumpai parasetamol produk generik dengan logo yang berbeda-beda, contoh: Kimia Farma, Indo Farma, Dexa Medica, Hexpharm, dll.

11. OBAT GENERIK
o O bat generik dibagi lagi menjadi 2 yaitu generik berlogo dan generik bermerk ( branded generic ) :
o Obat generik berlogo yang lebih umum disebut obat generik saja adalah obat yang menggunakan nama zat berkhasiatnya dan mencantumkan logo perusahaan farmasi yang memproduksinya pada kemasan obat
o O bat generik bermerk yang lebih umum disebut obat bermerk adalah obat yang diberi merk dagang oleh perusahaan farmasi yang memproduksinya.
12. OBAT PATEN
o Obat paten adalah obat yang baru ditemukan berdasarkan riset dan memiliki masa paten yang tergantung dari jenis obatnya. Menurut UU No. 14 Tahun 2001 masa berlaku paten di Indonesia adalah 20 tahun.
o Selama 20 tahun itu, perusahaan farmasi tersebut memiliki hak eksklusif di Indonesia untuk memproduksi obat yang dimaksud. Perusahaan lain tidak diperkenankan untuk memproduksi dan memasarkan obat serupa kecuali jika memiliki perjanjian khusus dengan pemilik paten.
o Setelah obat paten berhenti masa patennya, obat paten kemudian disebut sebagai obat generik ( generik= nama zat berkhasiatnya ).
13. OBAT PATEN
 Obat paten adalah obat dengan nama dagang dan menggunakan nama yang merupakan milik produsen obat yang bersangkutan.
 Misal: Lipitor (Pfizer) , produk innovator/originator yaitu merek dagang untuk Atorvastatin .
 Suatu obat disebut obat paten bila hanya diproduksi oleh pabrik yang menemukan obat atau yang diberi izin oleh penemunya.
 Pabrik penemu diberi hak paten 15 sampai 20 tahun untuk memonopoli produksi. Bila hak paten habis, pabrik lain boleh memproduksi obat tersebut.
 Bila obat tersebut dijual dengan nama kimia zat berkhasiatnya, kita menyebutnya sebagai obat generik.
14. OBAT PATEN
o Dibawah dilampirkan Daftar Obat yang habis hak patennya tahun 2007 - 2009 yang dikutip dari Express Scripts and Generic Pharmaceutical Association
o Lotrel (Amlodipine and benazepril) - Novartis Jan. 31, 2007
o Norvasc (Amlodipine) - Pfizer Jan. 31, 2007
o Actiq (Fentanyl transmucosal) - Cephalon Feb. 5, 2007
o Aceon (Perindopril) - Solvay Feb. 21, 2007
o Alocril (Nedocromil) - Allergan April 2, 2007
o Imitrex (Sumatriptan) - GlaxoSmithKline June 28, 2007
o Geodon (Ziprasidone) - Pfizer Sept. 2, 2007
o Coreg (Carvedilol) - Glaxo Sept. 5, 2007
o Meridia (Sibutramine ) - Abbott Dec. 11, 2007
o Mavik (Trandolapril) - Abbott Dec. 12, 2007
o Tequin (Gatifloxacin) - Glaxo Dec. 25, 2007
o Zyrtec (Cetirizine) - Pfizer Dec. 25, 2007
o Clarinex (Desloratadine) - Schering-Plough 2007
o Fosamax (Alendronate) - Merck Feb. 6, 2008
o Camptosar (Irinotecan) - Pfizer Feb. 20, 2008
o Effexor/XR (Venlafaxine) - Wyeth June 13, 2008
o Zymar (Gatifloxacin) - Allergan June 25, 2008
o Dovonex (Calcipotriene) - Bristol-M. Sq. June 29, 2008
o Kytril (Granisetron) - Roche June 29, 2008
15. OBAT PATEN
o Risperdal (Risperidone) - Janssen June 29, 2008
o Depakote (Divalproex sodium) - Abbott July 29, 2008
o Advair (Fluticasone and salmeterol) - Glaxo Aug. 12, 2008
o Serevent (Salmeterol) - Glaxo Aug. 12, 2008
o Casodex (Bicalutamide) - Bristol-M Squibb Oct. 1, 2008
o Trusopt (Dorzolamide) - Merck Oct. 28, 2008
o Zerit (Stavudine) - Bristol-M Squibb Dec. 24, 2008
o Lamictal (Lamotrigine) - Glaxo Jan. 22, 2009
o Vexol (Rimexolone) - Alcon Labs Jan. 22, 2009
o Avandia (Rosiglitazone) - Glaxo Feb. 28, 2009
o Topamax (Topiramate) - Johnson & J 26, 2009
o Glyset (Miglitol) - Pfizer July 27, 2009
o Xenical (Orlistat) - Roche Dec. 18, 2009
o Valtrex (Valacyclovir ) - Glaxo Dec. 23, 2009
o Avelox (Moxifloxacin) - Bayer Dec. 30, 2009
16. OBAT KERAS
o Obat daftar G menurut bahasa Belanda "G" singkatan dari "Gevaarlijk" artinya berbahaya jika pemakaiannya tidak berdasarkan resep dokter.
o Penandaan : Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 02396/A/SKA/III/1986 adalah "Lingkaran bulat berwarna merah dengan garis tepi berwarna hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi“
o Contoh : Antibiotik, Antihistaminik
17. Obat Wajib Apotek (OWA)
o Obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker di apotek tanpa resep dokter.
o Peraturan tentang Obat Wajib Apotek berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/Per/X/1993, dikeluarkan dengan pertimbangan sebagai berikut :
 Pertimbangan yang utama: obat yang diserahkan tanpa resep dokter, yaitu meningkatkan kemampuan masyarakat dalam rnenolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan, dengan meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional.
 Pertimbangan yang kedua untuk peningkatan peran apoteker di apotek dalam pelayanan komunikasi, informasi dan edukasi serta pelayanan obat kepada masyarakat.
 Pertimbangan ketiga untuk peningkatan penyediaan obat yang dibutuhkan untuk pengobatan sendiri.

18. Obat Wajib Apotek (OWA)
o Walaupun APA boleh memberikan obat keras, namun ada persayaratan yang harus dilakukan dalam penyerahan OWA.
o Apot eker wajib melakukan pencatatan yang benar mengenai data pasien (nama, alamat, umur) serta penyakit yang diderita.
o Apoteker wajib memenuhi ketentuan jenis dan jumlah yang boleh diberikan kepada pasien. Contohnya hanya jenis oksitetrasiklin salep saja yang termasuk OWA, dan hanya boleh diberikan 1 tube .
o Apoteker wajib memberikan informasi obat secara benar mencakup: indikasi, kontra-indikasi, cara pemakain, cara penyimpanan dan efek samping obat yang mungkin timbul serta tindakan yang disarankan bila efek tidak dikehendaki tersebut timbul.
19. Obat Wajib Apotek (OWA)
o Ses uai permenkes No.919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang dapat diserahkan:
o Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
o Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit.
o Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.
o Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.
o Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.
20. Obat Wajib Apotek (OWA)
o Contoh obat wajib apotek No. 1 (artinya yang pertama kali ditetapkan)
o Obat kontrasepsi : Linestrenol (1 siklus)
o Obat saluran cerna : Antasid dan Sedativ/Spasmodik (20 tablet)
o Obat mulut dan tenggorokan : Salbutamol (20 tablet)
o Contoh obat wajib apotek No. 2
o Bacitracin Cream (1 tube)
o Clindamicin Cream (1 tube)
o Flumetason Cream (1 tube), dll
o Obat Wajib Apotek No.3 :
o Ranitidin
o Asam fusidat
o Alupurinol, dll
21. Perubahan Penggolongan Obat, Surat Keputusan Menkes. Rl No. 925 tahun 1993, tentang : Daftar Perubahan Golongan Obat No.1.
o Dasar Pertimbangan :
o Bahwa untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan, dirasa perlu ditunjang dengan sarana yang dapat meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional.

22. Daftar perubahan golongan obat No. 1 No. Nama generik obat Golongan semula Golongan baru Pembatasan 1 2 Aminofilin Ibuprofen Obat keras dalam substansi / obat wajib apotik (suppositoria) Obat keras Obat bebas terbatas (OBT) OBT Tablet 200 mg kemasan tidak lebih dari 10 tablet
23. Obat Yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep Dokter (Permenkes No:919 Tahun 1993)
o Kriteria :
o Tidak dikontra indikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah umur 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
o Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan penyakit.
o Penggunaannya tidak memerlukan cara dan alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.
o Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.
o Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggung jawabkan untuk pengobatan sendiri.
24. Obat Golongan Narkotika
o Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika, adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan I, II dan III.
25. Golongan I, II dan III untuk Golongan Obat Narkotika
o Golongan I
o  tidak digunakan dalam terapi, tapi hanya untuk ilmu pengetahuan. Potensi ketergantungan sangat tinggi.
o contoh: tanaman Papaver somniferum (opium), koka dan ganja, heroin
o Golongan II
o  dapat digunakan dalam terapi dan ilmu pengetahuan. Potensi ketergantungan sangat tinggi.
o contoh: metadon, morfin, opium, petidin
o Golongan III
o  banyak digunakan dalam terapi dan ilmu pengetahuan. Potensi ketergantungan ringan
o contoh: kodein
26. Narkotika
o Contoh :
o Tanaman Papaver Somniferum; Tanaman Koka; Tanaman Ganja; Heroina ("Putaw"); Morfina; Opium; Kodeina
o Penandaan :
o Penandaan narkotika berdasarkan peraturan yang terdapat dalam Ordonansi Obat Bius yaitu "Palang Medali Merah“
o Tanda:

27. Obat Psikotropika
o Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku.
28. Golongan I,II,III dan IV untuk Golongan Obat Psikotropika
o Golongan I
o  tidak digunakan dalam terapi, tapi hanya untuk ilmu pengetahuan. Potensi sidrom ketergantungan amat kuat. contoh: LSD, MDMA (Metilen dioksi metamfetamin) Ectasy
o Golongan II
o  dapat digunakan dalam terapi dan ilmu pengetahuan. Potensi sidrom ketergantungan kuat. Contoh: Amfetamin, Metamfetamin (Shabu-shabu)
o Golongan III
o  banyak digunakan dalam terapi dan ilmu pengetahuan. Potensi sidrom ketergantungan sedang. Contoh: Pentobarbital
o Golongan IV
o  sangat luas digunakan dalam terapi dan ilmu pengetahuan. Potensi sidrom ketergantungan ringan. Contoh: Fenobarbital, Diazepam
29. Psikotropika
o Penandaan :
o Lingkaran bulat berwarna merah dengan huruf K berwarna hitam yang menyentuh garis tepi yang berwarna hitam
30. Alat Kesehatan (Alkes) dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT)
o Undang-Undang Rl Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan alat kesehatan adalah bahan, instrumen, mesin, implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosa, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit serta memulihkan kesehatan pada manusia dan/atau struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
o Alat Kesehatan menurut Permenkes nomor : 1184 tahun 2004, Alat kesehatan adalah : instrumen, apparatus, mesin, alat untuk ditanamkan, reagens/produk diagnostic in vitro atau barang lain yang sejenis atau yang terkait termasuk komponen, bagian dan perlengkapannya yang disebut dalam Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia dan Formularium Nasional atau Suplemennya
31. Alat Kesehatan (Alkes) dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT)
o Pengertian Produk Diagnostik adalah reagensia, instrumen dan sistem yang digunakan untuk mengdiagnosa penyakit atau kondisi lain, termasuk penentuan tingkat kesehatan, dengan maksud pengobatan, pengurangan atau mencegah penyakit atau akibatnya.
o Perbekalan kesehatan rumah tangga, terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Rl Nomor 140/Menkes/Per/lll/1991, yang kini telah diperbaharui dengan Permenkes Nomor: 1184 tahun 2004.
o Perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT) adalah alat, bahan, atau campuran bahan untuk memelihara dan perawatan kesehatan untuk manusia, hewan peliharaan, rumah tangga dan tempat-tempat umum.
32. CONTOH PERBEKALAN KESEHATAN
o Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT), misalnya :
o 1. Preparat untuk pemeliharaan dan perawatan
o kesehatan
 Kapas kecantikan; Toilet article tissue; Sabun cuci batangan, sabun cuci cream, detergent sabun cair
 2. Pestisida Rumah Tangga
 Pembasmi kutu rambut; Pembasmi seranggga rumah; Obat nyamuk bakar, cair, erosol; Pembasmi tikus
o b. Alat kesehatan, misalnya :
 contoh: Wadah dari plastik dan kaca untuk obat dan injeksi, karet tutup botol infus.; Peralatan obstetrik; Peralatan anestesiologi; Peralatan dan perlengkapan kedokteran; Peralatan gigi; Peralatan dan perlengkapan telinga, hidung, tenggorokan; Peralatan rumah sakit; Peralatan kimia; Peralatan hematologi, patalogi, ortopedi; Peralatan rehabilitasi
33. SELESAI

Perbekalan Kesehatan
34. Perbekalan kesehatan merupakan semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan
. Alat Kesehatan
35. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
Sediaan Farmasi
36. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.
Obat
37. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.
Obat Tradisional
38. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat

Sistem Saraf Manusia


(artikel buat sahabatq ana ci temok di padang semoga bermanfaat)
Sistem Saraf
Sistem saraf merupakan sistem koordinasi (pengaturan tubuh) berupa penghantaran impul saraf ke susunan saraf pusat, pemrosesan impul saraf dan perintah untuk memberi tanggapan rangsangan.
Unit terkecil pelaksanaan kerja sistem saraf adalah sel saraf atau neuron
Sistem saraf pada manusia dibagi menjadi tiga, yaitu saraf otak, saraf sumsum tulang belakang, dan saraf tepi. Saraf otak dan saraf sumsum tulang belakang adalah saraf pusat. Pada saraf tepi, saraf menghubungkan antara saraf pusat dengan indera dan otot. Saraf otak ibarat chip dalam komputer. Sistem saraf sendiri merupakan cabang dari sistem koordinasi selain sistem hormon dan sistem otot.

Sistem saraf pada manusia dibagi menjadi dua, yaitu:
* Saraf sadar
-Saraf pusat
A. Otak
1. Otak besar (cerebrum)
2. Otak kecil (cerebellum)
3. Otak tengah (mesencephalon)
4. Sumsum lanjutan (medulla oblongata)
>Sumsum tulang belakang
-Saraf tepi
* Saraf tak sadar
o Saraf simpatetik
o Saraf parasimpatetik

(1.) Sistem Saraf Sadar
Sistem saraf sadar disusun oleh saraf otak (saraf kranial), yaitu saraf-saraf yang keluar dari otak, dan saraf sumsum tulang belakang, yaitu saraf-saraf yang keluar dari sumsum tulang belakang.
Sistem saraf pusat meliputi otak (ensefalon) dan sumsum tulang belakang (Medula spinalis). Keduanya merupakan organ yang sangat lunak, dengan fungsi yang sangat penting maka perlu perlindungan. Selain tengkorak dan ruas-ruas tulang belakang, otak juga dilindungi 3 lapisan selaput meninges. Bila membran ini terkena infeksi maka akan terjadi radang yang disebut meningitis.
Ketiga lapisan membran meninges dari luar ke dalam adalah sebagai berikut.
1. Durameter; merupakan selaput yang kuat dan bersatu dengan tengkorak.
2. Araknoid; disebut demikian karena bentuknya seperti sarang labah-labah. Di dalamnya terdapat cairan serebrospinalis; semacam cairan limfa yang mengisi sela sela membran araknoid. Fungsi selaput araknoid adalah sebagai bantalan untuk melindungi otak dari bahaya kerusakan mekanik.
3. Piameter. Lapisan ini penuh dengan pembuluh darah dan sangat dekat dengan permukaan otak. Agaknya lapisan ini berfungsi untuk memberi oksigen dan nutrisi serta mengangkut bahan sisa metabolisme.

Otak dan sumsum tulang belakang mempunyai 3 materi esensial yaitu:
1. badan sel yang membentuk bagian materi kelabu (substansi grissea)
2. serabut saraf yang membentuk bagian materi putih (substansi alba)
3. sel-sel neuroglia, yaitu jaringan ikat yang terletak di antara sel-sel saraf di dalam sistem saraf pusat

Walaupun otak dan sumsum tulang belakang mempunyai materi sama tetapi susunannya berbeda. Pada otak, materi kelabu terletak di bagian luar atau kulitnya (korteks) dan bagian putih terletak di tengah. Pada sumsum tulang belakang bagian tengah berupa materi kelabu berbentuk kupu-kupu, sedangkan bagian korteks berupa materi putih.

A. Otak
Otak mempunyai lima bagian utama, yaitu: otak besar (serebrum), otak tengah (mesensefalon), otak kecil (serebelum), sumsum sambung (medulla oblongata), dan jembatan varol.

a. Otak besar (serebrum)
Otak besar mempunyai fungsi dalam pengaturan semua aktifitas mental, yaitu yang berkaitan dengan kepandaian (intelegensi), ingatan (memori), kesadaran, dan pertimbangan.

Otak besar merupakan sumber dari semua kegiatan/gerakan sadar atau sesuai dengan kehendak, walaupun ada juga beberapa gerakan refleks otak. Pada bagian korteks serebrum yang berwarna kelabu terdapat bagian penerima rangsang (area sensor) yang terletak di sebelah belakang area motor yang berfungsi mengatur gerakan sadar atau merespon rangsangan. Selain itu terdapat area asosiasi yang menghubungkan area motor dan sensorik. Area ini berperan dalam proses belajar, menyimpan ingatan, membuat kesimpulan, dan belajar berbagai bahasa. Di sekitar kedua area tersebut dalah bagian yang mengatur kegiatan psikologi yang lebih tinggi. Misalnya bagian depan merupakan pusat proses berfikir (yaitu mengingat, analisis, berbicara, kreativitas) dan emosi. Pusat penglihatan terdapat di bagian belakang.

b. Otak tengah (mesensefalon)
Otak tengah terletak di depan otak kecil dan jembatan varol. Di depan otak tengah terdapat talamus dan kelenjar hipofisis yang mengatur kerja kelenjar-kelenjar endokrin. Bagian atas (dorsal) otak tengah merupakan lobus optikus yang mengatur refleks mata seperti penyempitan pupil mata, dan juga merupakan pusat pendengaran.

c. Otak kecil (serebelum)
Serebelum mempunyai fungsi utama dalam koordinasi gerakan otot yang terjadi secara sadar, keseimbangan, dan posisi tubuh. Bila ada rangsangan yang merugikan atau berbahaya maka gerakan sadar yang normal tidak mungkin dilaksanakan.

d. Jembatan varol (pons varoli)
Jembatan varol berisi serabut saraf yang menghubungkan otak kecil bagian kiri dan kanan, juga menghubungkan otak besar dan sumsum
tulang belakang.

e. Sumsum sambung (medulla oblongata)
Sumsum sambung berfungsi menghantar impuls yang datang dari medula spinalis menuju ke otak. Sumsum sambung juga mempengaruhi jembatan, refleks fisiologi seperti detak jantung, tekanan darah, volume dan kecepatan respirasi, gerak alat pencernaan, dan sekresi kelenjar pencernaan.
Selain itu, sumsum sambung juga mengatur gerak refleks yang lain seperti bersin, batuk, dan berkedip.

6. Sumsum tulang belakang (medulla spinalis)
Pada penampang melintang sumsum tulang belakang tampak bagian luar berwarna putih, sedangkan bagian dalam berbentuk kupu-kupu dan berwarna kelabu.
Pada penampang melintang sumsum tulang belakang ada bagian seperti sayap yang terbagi atas sayap atas disebut tanduk dorsal dan sayap bawah disebut tanduk ventral. Impuls sensori dari reseptor dihantar masuk ke sumsum tulang belakang melalui tanduk dorsal dan impuls motor keluar dari sumsum tulang belakang melalui tanduk ventral menuju efektor. Pada tanduk dorsal terdapat badan sel saraf penghubung (asosiasi konektor) yang akan menerima impuls dari sel saraf sensori dan akan menghantarkannya ke saraf motor.
Pada bagian putih terdapat serabut saraf asosiasi. Kumpulan serabut saraf membentuk saraf (urat saraf). Urat saraf yang membawa impuls ke otak merupakan saluran asenden dan yang membawa impuls yang berupa perintah dari otak merupakan saluran desenden.
**Sistem saraf tepi
Sistem saraf tepi terdiri dari sistem saraf sadar dan sistem saraf tak sadar (sistem saraf otonom). Sistem saraf sadar mengontrol aktivitas yang kerjanya diatur oleh otak, sedangkan saraf otonom mengontrol aktivitas yang tidak dapat diatur otak antara lain denyut jantung, gerak saluran pencernaan, dan sekresi keringat.

(2.) Saraf Otonom/ tak sadar
Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak maupun dari sumsum tulang belakang dan menuju organ yang bersangkutan. Dalam sistem ini terdapat beberapa jalur dan masing-masing jalur membentuk sinapsis yang kompleks dan juga membentuk ganglion. Urat saraf yang terdapat pada pangkal ganglion disebut urat saraf pra ganglion dan yang berada pada ujung ganglion disebut urat saraf post ganglion.
Sistem saraf otonom dapat dibagi atas sistem saraf simpatik dan sistem saraf parasimpatik. Perbedaan struktur antara saraf simpatik dan parasimpatik terletak pada posisi ganglion. Saraf simpatik mempunyai ganglion yang terletak di sepanjang tulang belakang menempel pada sumsum tulang belakang sehingga mempunyai urat pra ganglion pendek, sedangkan saraf parasimpatik mempunyai urat pra ganglion yang panjang karena ganglion menempel pada organ yang dibantu.
Fungsi sistem saraf simpatik dan parasimpatik selalu berlawanan (antagonis). Sistem saraf parasimpatik terdiri dari keseluruhan “nervus vagus” bersama cabang-cabangnya ditambah dengan beberapa saraf otak lain dan saraf sumsum sambung.
Tabel Fungsi Saraf Otonom
•Parasimpatik
• mengecilkan pupil
• menstimulasi aliran ludah
• memperlambat denyut jantung
• membesarkan bronkus
• menstimulasi sekresi kelenjar pencernaan
• mengerutkan kantung kemih
•Simpatik
• memperbesar pupil
• menghambat aliran ludah
• mempercepat denyut jantung
• mengecilkan bronkus
• menghambat sekresi kelenjar pencernaan
• menghambat kontraksi kandung kemih
• Mekanisme Penghantar Impuls
Impuls dapat dihantarkan melalui beberapa cara, di antaranya melalui sel saraf dan sinapsis. Berikut ini akan dibahas secara rinci kedua cara tersebut.

1. Penghantaran Impuls Melalui Sel Saraf
Penghantaran impuls baik yang berupa rangsangan ataupun tanggapan melalui serabut saraf (akson) dapat terjadi karena adanya perbedaan potensial listrik antara bagian luar dan bagian dalam sel. Pada waktu sel saraf beristirahat, kutub positif terdapat di bagian luar dan kutub negatif terdapat di bagian dalam sel saraf. Diperkirakan bahwa rangsangan (stimulus) pada indra menyebabkan terjadinya pembalikan perbedaan potensial listrik sesaat. Perubahan potensial ini (depolarisasi) terjadi berurutan sepanjang serabut saraf. Kecepatan perjalanan gelombang perbedaan potensial bervariasi antara 1 sampai dengart 120 m per detik, tergantung pada diameter akson dan ada atau tidaknya selubung mielin.
Bila impuls telah lewat maka untuk sementara serabut saraf tidak dapat dilalui oleh impuls, karena terjadi perubahan potensial kembali seperti semula (potensial istirahat). Untuk dapat berfungsi kembali diperlukan waktu 1/500 sampai 1/1000 detik.
Energi yang digunakan berasal dari hasil pemapasan sel yang dilakukan oleh mitokondria dalam sel saraf.
Stimulasi yang kurang kuat atau di bawah ambang (threshold) tidak akan menghasilkan impuls yang dapat merubah potensial listrik. Tetapi bila kekuatannya di atas ambang maka impuls akan dihantarkan sampai ke ujung akson. Stimulasi yang kuat dapat menimbulkan jumlah impuls yang lebih besar pada periode waktu tertentu daripada impuls yang lemah.
2. Penghantaran Impuls Melalui Sinapsis
Titik temu antara terminal akson salah satu neuron dengan neuron lain dinamakan sinapsis. Setiap terminal akson membengkak membentuk tonjolan sinapsis. Di dalam sitoplasma tonjolan sinapsis terdapat struktur kumpulan membran kecil berisi neurotransmitter; yang disebut vesikula sinapsis. Neuron yang berakhir pada tonjolan sinapsis disebut neuron pra-sinapsis. Membran ujung dendrit dari sel berikutnya yang membentuk sinapsis disebut post-sinapsis. Bila impuls sampai pada ujung neuron, maka vesikula bergerak dan melebur dengan membran pra-sinapsis. Kemudian vesikula akan melepaskan neurotransmitter berupa asetilkolin. Neurontransmitter adalah suatu zat kimia yang dapat menyeberangkan impuls dari neuron pra-sinapsis ke post-sinapsis. Neurontransmitter ada bermacam-macam misalnya asetilkolin yang terdapat di seluruh tubuh, noradrenalin terdapat di sistem saraf simpatik, dan dopamin serta serotonin yang terdapat di otak. Asetilkolin kemudian berdifusi melewati celah sinapsis dan menempel pada reseptor yang terdapat pada membran post-sinapsis. Penempelan asetilkolin pada reseptor menimbulkan impuls pada sel saraf berikutnya. Bila asetilkolin sudah melaksanakan tugasnya maka akan diuraikan oleh enzim asetilkolinesterase yang dihasilkan oleh membran post-sinapsis.
Bagaimanakah penghantaran impuls dari saraf motor ke otot? Antara saraf motor dan otot terdapat sinapsis berbentuk cawan dengan membran pra-sinapsis dan membran post-sinapsis yang terbentuk dari sarkolema yang mengelilingi sel otot. Prinsip kerjanya sama dengan sinapsis saraf-saraf lainnya.
Gerak merupakan pola koordinasi yang sangat sederhana untuk menjelaskan penghantaran impuls oleh saraf.
Gerak pada umumnya terjadi secara sadar, namun, ada pula gerak yang terjadi tanpa disadari yaitu gerak refleks. Impuls pada gerakan sadar melalui jalan panjang, yaitu dari reseptor, ke saraf sensori, dibawa ke otak untuk selanjutnya diolah oleh otak, kemudian hasil olahan oleh otak, berupa tanggapan, dibawa oleh saraf motor sebagai perintah yang harus dilaksanakan oleh efektor.
Gerak refleks berjalan sangat cepat dan tanggapan terjadi secara otomatis terhadap rangsangan, tanpa memerlukan kontrol dari otak. Jadi dapat dikatakan gerakan terjadi tanpa dipengaruhi kehendak atau tanpa disadari terlebih dahulu. Contoh gerak refleks misalnya berkedip, bersin, atau batuk.
Pada gerak refleks, impuls melalui jalan pendek atau jalan pintas, yaitu dimulai dari reseptor penerima rangsang, kemudian diteruskan oleh saraf sensori ke pusat saraf, diterima oleh set saraf penghubung (asosiasi) tanpa diolah di dalam otak langsung dikirim tanggapan ke saraf motor untuk disampaikan ke efektor, yaitu otot atau kelenjar. Jalan pintas ini disebut lengkung refleks. Gerak refleks dapat dibedakan atas refleks otak bila saraf penghubung (asosiasi) berada di dalam otak, misalnya, gerak mengedip atau mempersempit pupil bila ada sinar dan refleks sumsum tulang belakang bila set saraf penghubung berada di dalam sumsum tulang belakang misalnya refleks pada lutut.
Senin, 14 Desember 2009
ANTIPSIKOTIKA
Antipsikotika
Sekilas tentang antipsikotika
Antipsikotika adalah obat obat yang dapat menekan fungsi-fungsi psikis tertentu tanpa mempengaruhi fungsi-fungsi umum (berpikir dan kelakuan normal).
Antipsikotika dapat meredam agresi maupun emosi serta dapat pula menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa, seperti impian dan pikiran khayal serta menormalkan perilaku tidak normal.
Oleh karena itu umumnya antipsikotika digunakan pada psikosis (penyakit jiwa yang hebat yang sulit sembuh pada pasien) misalnya seperti pada penyakit schizophrenia dan psikosis mania-depresif.
Obat-obatan antipsikosis yang dapat meredakan gejala-gejala schizophrenia adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine decanoate (prolixin).
Antipsikotika juga dikenal dengan sebutan neuroleptika atau major tranquillizers.
Gangguan-gangguan Jiwa
Sebelum melangkah ke pengertian selanjutnya dibawah ini ada sedikit ringkasan beberapa gangguan jiwa terpenting yang berkaitan dengan psikose (seperti yang kami kutip dari sumber buku Obat-Obat Penting dari Drs. Tan Hoan Tjay & Drs. Kirana Rahardja dan sumber lain pada http://ikasatyani.blogspot.com/2008_09_01_archive.html) diantaranya:
1. Psikose: Sebagai gangguan jiwa yang sangat merusak akal budi dan pengertian (insight), timbulnya pandangan tidak realities atau bizar (aneh), mempengaruhi kepribadian dan mengurangi berfungsinya si penderita. Gejala psikotis yang muncul mencakup waham/ pikiran khayal, halusinasi dan gangguan berpikir formil/ tak dapat berpikir riil. Ini seringkali disebabkan oleh schizophrenia dan dapat diobati dengan antipsikotika.
2. Neurose: ini termasuk gangguan jiwa tanpa gejla psikotis. Kepribadian pasien relatif kurang dirusak dan kontak dengan realitas tidak terganggu. Gejalanya dapat disebut kegelisahan, cemas, murung, mudah tersinggung, dan berbagai perasaan tidak enak di tubuh. Penyakit ini dapat diatasidengan tranquillizers.
3. Sindrome Borderline (BPD): dimana gejalanya terletak diperbatasan antara neurose dan psikose. Gejalanya banyak sekali yang utama antara lain: impulsivitas, instabilitas emosional dengan perubahan suasana jiwa secara mendadak, percobaan bunuh diri, kesulitan membuat kontak karena segala sesuatu dianggap sebagai hitam putih. Pengobatan dilakukan poliklinis dengan kombinasi dari suatu bentuk kombinasi psikoterapi khusus dan psikofarmaka (antipsikotika, antidepresiva, atau obat-obat yang meregulasi suasana, seperti litium).

4. Mania: kecenderungan patologis untuk suatu aktifitas tertentu, yang tidak dapat dikendalikan, misalnya mengutil (kleptomania). Penanganan mania dapat dilakukan dengan antipsikotika, khususnya klorporazin, haloperidol, dan pimozida.
5. Scizofrenia: merupakan gangguan jiwa yang pada kebanyakan kasus bersifat sangat serius, berkelanjutan, dan dapat menyebabkan kendala sosial, emosional dan kognitif. Akan tetapi banyak varian lain yang kurang serius. Scizofrenia adalah penyebab terpenting gangguan psikotis, dimana periode psikotis diselingi periode normalsaat pasien bisa berfungsi baik. Mulainya penyakit sering kali secara menyelinap. Pada pria biasanya timbul antara usia 15-25 tahun, jarang diatas 30 tahun, sedangkan pada wanita antara 25-35 tahun. Catatan lain dari scizofrenia merupakan gangguan mental klasifikasi berat dan kronik (psikotik) yang menjadi beban utama pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia sejak jaman pemerintahan Hindia Belanda sampai sekarang. Obat-obatan antipsikosis yang dapat meredakan gejala-gejala schizophrenia adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini disebut obet penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini tampaknya mengakibatkan sikap acuh pada stimulus. luar. Obat ini cukup tepat bagi penderita schizophrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan). Bukti menunjukkan bahwa obat antipsikotik ini bekerja pada bagian batang otak, yaitu sistem retikulernya, yang selalu mengendalikan masukan berita dari alat indera pada cortex cerebral.

Penggolongan Antipsikotika
Antipsikotika dibagi dalam dua kelompok besar yaitu:
1. Antipsikotika klasik/ typis, ini efektif mengatasi simtom positif. Dan dibagi dalam dua kelompok kimiawi sebagai berikut:
• Derivat fonotiazin: klorpromazin, levomepromazin dan triflupromazin (siquil)-thioridazin dan periciazin-dan flufenazin-perazin (taxilan), trifluoperazin (stemetil), dan thietilperazin (torecan)
• Derivat thioxanthen: klorprotixen (truxal) dan zuklopentixol (cisordinol).
• Derivat butirofenon: haloperidol, bromperidol, pipamperon, dan droperidol.
• Derivat butilpiperadin: pimozida, fluspirilen, dan penfluridol.
Senyawa fenotiazin dan tioksanten maupun butirofenon, difenilbutilpiperadin mewakili secara khas neuroleptika. Yang bekerja meredam di daerah afektif, tanpa merugikan secara nyawa kesadaran (walter schunack, klaus mayer, manfred haake: Senyawa Obat)
2. Antipsikotika Atypis: obat-obat atypis ini Sulprida, klozapin, risperidon, olanzapin, dan quietiapin (seroquel)bekerja efektif melawan simtom-simtom negatif, yang praktis kebal terhadap obat-obat klasik. Dan ini efek sampingnya lebih ringan, khususnya gangguan ekstrapiramidal dan dyskinesia tarda.
Sulpirid merupakanpsikofarmakon pertama dari golongan obat sulfamoilbenzami, yang digunakan dalam terapi. Senyawa ini memperlihatkan sifat neuroleptik lama dengan komponen kerja antidepresan yang nyata.
Dosis rendah antipsikotik atipikal tertentu seperti quetiapine, olanzapine dan risperidone juga diresepkan untuk efek penenang mereka, tapi bahaya neurologis dan efek samping kognitif membuat obat-obatan ini merupakan pilihan yang buruk untuk mengobati insomnia.
Dan, dosis yang lebih tinggi diambil (300 mg – 900 mg) untuk digunakan sebagai antipsikotik, sedangkan dosis yang lebih rendah (25 mg – 200 mg) yang ditandai memiliki efek penenang, misalnya jika seorang pasien membutuhkan 300 mg, ia akan lebih diuntungkan dari efek antipsikotik obat, tetapi jika dosis diturunkan ke 100 mg, akan membuat pasien merasa lebih terbius daripada 300 mg, karena bekerja sebagai obat penenang terutama pada dosis rendah http://en.wikipedia.org/wiki/Insomnia.

Indikasi Fisiologi dan penggunaan
Antipsikotika memiliki beberapa indikasi fisiologis diantaranya:
Antipsikotis: obat-obat ini digunakan untuk gangguan jiwa dengan gejala psikotis. Seperti scizofrenia, mania, depresi psikotis dan depresipsikotis. Selain itu untuk menangani gangguan perilaku seriuspada pasien demensia dan gangguan rohani, juga untuk keaadan gelisah akut dan penyakit lata.
Aaxiolitis: meniadakan rasa bimbang, takut, kegelisahan dan agresi yang hebat. Oleh karena itu kadang obat ini digunakan dalam dosis rendah sebagi minor transquillizers pada kasus-kasus besar dimana benzodiazepin (pimozida, thioridazin) kurang efektif. Berhubung efek sampingnya penggunaan antipsikotika dalam dosis rendah sebagai axiolitika tidak dianjurkan.
Antiemetis: sering digunakan untuk melawan mual dan muntah yang hebat, seperti pada terapi sitostatika, sedangkan pada mabuk jalan tidak efektif. Obat ini adalah proklorperazin dan thietilperazin. Obat yang lain adalah klorpromazin, perfenazin, triflupromazin, flufenazin, haloperidol (dalam dosis rendah), metoklopramida.
Analgetis: ini diantaranya, levomepromazin, haloperidol, dan droperidol. Kecuali droperidol obat tersebut jarang digunaka sebagai antinyeri, mengapa? Karena dapat memperkuat efek analgetika dengan jalan meningkatkan ambang nyeri.

Mekanisme Kerja
Psikofarmaka pada umumnya yang bekerja secara selektif pada susunan saraf pusat (SSP) dan mempunyai efek efek utama terhadap aktifitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik.
Semua psikofarmaka bersifat lipofil dan mudah masuk ke dalam cairan cerebrospinal. Walaupun mekanisme kerjanya pada tarf biokimiawi belum diketahui dengan pasti, tetapi setidaknya ada petunjuk kuat bahwa mekanisme ini behubungan erat dengan kadar neurotransmitter di otak atau antar keseimbanganya (Obat-Obat Penting, Tan Hoan Tjay & Kirana H, hal:424)
Antipsikotika bekerja menghambat agak kuat reseptor dopamin (D2) di sistem limbis otak dan disamping itu juga menghambat reseptor D1/D4, α1 (dan α2)-adrenerg, serotonin, muskarin, dan histamin. Tetapi pada pasien yang kebal terhadap obat-obat klasik ditemukan pula blokade tuntas dari reseptor D2 tersebut. Sebenarnya blokade-D2 saja tidak cukup, perlu mempengaruhi neurohormon lainnya seperti serotonin (5HT2), glutamat, dan gamma-butyric acid.
Saat awal kerjanya blokade-D2 cepat, begitu pula efeknya pada keadaan gelisah. Sebalinya kerjanya terhadap gejala psikose lain (waham, halusinasi, gangguan pikiran) baru terlihat setelah beberapa minggu. Mungkin masa latensi ini menyebabkan sistem reseptor-dopamin menjadi kurang peka.
Antipsikotika atypis memiliki afinitas lebih besar untuk reseptor-D1 dan D2 sehingga lebih efektif daripada obat-obat klasik untuk melawan simtom negatif, serta antipsikotika atypis lebih jarang menimbulkan gejala ekstrapiramidal dan dyskinesia tarda.

Obat antipsikotik yang beredar dipasaran dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu antipsikotik generasi pertama (APG I)/ Antipsikotik Klasik/ Typis dan antipsikotik generasi ke dua (APG ll)/ Serotonin Dopamin Antagonis (SDA)/ Antipsikotik Atipikal. APG I bekerja dengan memblok reseptor D2 di mesolimbik, mesokortikal, nigostriatal dan tuberoinfundibular sehingga dengan cepat menurunkan gejala positif tetapi pemakaian lama dapat memberikan efek samping berupa: gangguan ekstrapiramidal, tardive dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin yang akan menyebabkan disfungsi seksual / peningkatan berat badan dan memperberat gejala negatif maupun kognitif. Selain itu APG I menimbulkan efek samping antikolinergik seperti mulut kering pandangan kabur gangguaniniksi, defekasi dan hipotensi. APG I dapat dibagi lagi menjadi potensi tinggi bila dosis yang digunakan kurang atau sama dengan 10 mg diantaranya adalah trifluoperazine, fluphenazine, haloperidol dan pimozide. Obat-obat ini digunakan untuk mengatasi sindrom psikosis dengan gejala dominan apatis, menarik diri, hipoaktif, waham dan halusinasi. Potensi rendah bila dosisnya lebih dan 50 mg diantaranya adalah Chlorpromazine dan thiondazine digunakan pada penderita dengan gejala dominan gaduh gelisah, hiperaktif dan sulit tidur. APG II sering disebut sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA) atau antipsikotik atipikal. Bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada ke empat jalur dopamin di otak yang menyebabkan rendahnya efek samping extrapiramidal dan sangat efektif mengatasi gejala negatif. Obat yang tersedia untuk golongan ini adalah clozapine, olanzapine, quetiapine dan rispendon.
Dosis rendah antipsikotik atipikal tertentu seperti quetiapine, olanzapine dan risperidone juga diresepkan untuk efek penenang mereka, tapi bahaya neurologis dan efek samping kognitif membuat obat-obatan ini merupakan pilihan yang buruk untuk mengobati insomnia..
Efek Samping Psikotika
Efek samping pada sistem saraf (extrapyramidal side efect/EPSE)
1). Parkinsonisme
Efek samping ini muncul setelah 1 - 3 minggu pemberian obat. Terdapat trias gejala parkonsonisme:
Tremor: paling jelas pada saat istirahat
Bradikinesia: muka seperti topeng, berkurang gerakan reiprokal pada saat berjalan
Rigiditas: gangguan tonus otot (kaku)
2). Reaksi distonia: kontraksi otot singkat atau bisa juga lama
Tanda-tanda: muka menyeringai, gerakan tubuh dan anggota tubuh tidak terkontrol
3). Akathisia
Ditandai oleh perasaan subyektif dan obyektif dari kegelisahan, seperti adanya perasaan cemas, tidak mampu santai, gugup, langkah bolak-balik dan gerakan mengguncang pada saat duduk.
Ketiga efek samping di atas bersifat akur dan bersifat reversible (bisa ilang/kembali normal).
4). Tardive dyskinesia
Merupakan efek samping yang timbulnya lambat, terjadi setelah pengobatan jangka panjang bersifat irreversible (susah hilang/menetap), berupa gerakan involunter yang berulang pada lidah, wajah,mulut/rahang, anggota gerak seperti jari dan ibu jari, dan gerakan tersebut hilang pada waktu tidur.
b. Efek samping pada sistem saraf perifer atau anti cholinergic side efect
Terjadi karena penghambatan pada reseptor asetilkolin. Yang termasuk efek samping anti kolinergik adalah:
• Mulut kering
• Konstipasi
• Pandangan kabur: akibat midriasis pupil dan sikloplegia (pariese otot-otot siliaris) menyebabkan presbiopia
• Hipotensi orthostatik, akibat penghambatan reseptor adrenergic
• Kongesti/sumbatan nasal

Interaksi
Obat anti-psikotik rata2 mempunyai lama kerja efektif yang pendek (1-2 hari), kecuali yang memang dibuat dengan extended duration . Hal ini merupakan masalah karena perlu pemberian kronis.
Karena itu ritme diurnal harus diperhitungkan, apakah harus diberi pagi atau malam hari. Pengalaman menunjukkan bahwa bila obat yg menimbulkan ngantuk/sedasi diberi pagi hari maka penderita tidur terus sewaktu siang hari, yang akan dianggap merupakan bagian integral dari penyakitnya sendiri oleh dokter (dan pasien TENANG/ tidak gaduh). Hal ini sering terlihat; dan justru dianggap ‘berhasil’ pengobatannya. Bila terdapat tipe manik-depresi, sebaiknya obat seperti haloperidol dan sertraline, yang mempunyai efek sedasi kuat sekali diberikan malam hari saja. Pada pagi harinya dapat diberikan obat lain yang tidak sedatif seperti sulpiride (bila diperlukan). Dengan tindakan sederhana ini keadaan penderita akan jauh lebih baik

Contoh Obat-Obat Antipsikotika dan Antidepresi
1. ANTIDEPRESI
NO CONTOH OBAT GOLONGAN ANTIDEPRESI NAMA PATEN KOMPOSISI
1 Klomipramin Hidroklorida Anafranil Klomipramin Hidroklorida
2 Fluoksetin Hidroklorida Andep Fluoksetin Hidroklorida
3 Amoksapin Asendin Amoksapin
4 Sertralin Antipres Sertralin
5 Fluoksetin Hidroklorida Antiprestin Fluoksetin Hidroklorida
6 Moklobemida p-kloroN Benzamid Aurorik Moklobemida p-kloroN Benzamid
7 Fluoksetin Courage Fluoksetin
8 Buspiron Hidroklorida Buspar Buspiron Hidroklorida
9 Setralin Hidroklorida Deptral Setralin Hidroklorida
10 Sulpirida Dogmatil Sulpirida
11 Fluoksitin HCl Elizac 20 Fluoksitin HCl
12 Fluoksitin Hidroklorida Foransi Fluoksitin Hidroklorida
13 Sertralin Hidroklorida Fridep Sertralin Hidroklorida
14 Litium Karbonat Frimania Litium Karbonat
15 Serttraline Hidroklorida Iglodep Serttraline Hidroklorida
16 Fluoksitin Hidroklorida Kalxetin Fluoksitin Hidroklorida
17 Baklofen Liorezal Baklofen
18 Flukosetin Lodep Flukosetin
19 Maprotilin Hidroklorida Ludiomil Maprotilin Hidroklorida
20 Maprotilin Hidroklorida Ludios Maprotilin Hidroklorida
21 Fluvoksamin Maleat Luvox Fluvoksamin Maleat
22 Perphenazine Mutabon-D Perphenazine
23 Fluoxetine Nopres Fluoxetine
24 Levomepromaszin Nozinan Levomepromaszin
25 Sertralin Nudep Sertralin
26 Fluoksitin Hidroklorida Oxipres Fluoksitin Hidroklorida
27 Fluoksitin Hidroklorida Prestin Fluoksitin Hidroklorida
28 Fluoksitin Hidroklorida Prozac Fluoksitin Hidroklorida
29 Mirtazapin Remeron Mirtazapin
30 Maprotilin Hidroklorida Sandepril Maprotilin Hidroklorida
31 Sertraline Hidroklorida Serlof Sertraline Hidroklorida
32 Paroksetin Hidroklorida Seroxat Paroksetin Hidroklorida
33 Amineptin Hidroklorida Survector Amineptin Hidroklorida
34 Maprotilin Hidroklorida Tilsan Maprotilin Hidroklorida
35 Imipramin Hidroklorida Tofranil Imipramin Hidroklorida
36 Mianserin Hidroklorida Tolvon Mianserin Hidroklorida
37 Buspiron Hidroklorida Tran-Q Buspiron Hidroklorida
38 Trazodon Hidroklorida Trazone Trazodon Hidroklorida
39 Amitiptilin Hidroklorida Trilin Amitiptilin Hidroklorida
40 Buspiron Xiety Buspiron
41 Fluoxetine Zac Fluoxetine
42 Fluoxetine Hidroklorida Zactin Fluoxetine Hidroklorida
43 Sertralin Zerlin Sertralin
44 Sertralin Zoloft Sertralin

2. ANTIPSIKOSIS
NO CONTOH OBAT GOLONGAN ANTIPSIKOSIS NAMA PATEN KOMPOSISI
1 Flufenazin Hidroklorida Anatensol Flufenazin Hidroklorida
2 Klorpromazin Hidroklorida Cepezet Klorpromazin Hidroklorida
3 Klozapin Clorilex Klozapin
4 Klozapin Clozaril Klozapin
5 Haloperidol Dores Haloperidol
6 Haloperidol Govotil Haloperidol
7 Klorpromazin Hidroklorida Largactil Klorpromazin Hidroklorida
8 Haloperidol Lodomer Haloperidol
9 Zotepine Lodopin Zotepine
10 Tioridazin Hidroklorida Mellerril Tioridazin Hidroklorida
11 Klorpromazin Hidroklorida Meprosetil Klorpromazin Hidroklorida
12 Flufenazin Dekanoat Modecate Flufenazin Dekanoat
13 Flufenazin Hidroklorida Motival Flufenazin Hidroklorida
14 Perphenazine Mutabon-M Perphenazine
15 Risperidon Neripros Risperidon
16 Risperidon Noprenia Risperidon
17 Pimozide Orap forte Pimozide
18 Risperidon Persidal Risperidon
19 Klorpromazin Hidroklorida Promactil Klorpromazin Hidroklorida
20 Risperidone Risperdal Risperidone
21 Risperidone Risperdal Const Risperidone
22 Risperidone Rizodal Risperidone
23 Haloperidol Seradol Haloperidol
24 Haloperidol Serenace Haloperidol
Kuetiapin Fumarat Seroquel Kuetiapin Fumarat
25 Klozapin Sizoril Klozapin
26 Trifluoperazin Stelazine Trifluoperazin
27 Prokloperazin Stemetil Prokloperazin
28 Trifluoperazin Trizine Trifluoperazin
29 Risperidol Zofredal Risperidol
30 Olanzapine Zyprexa Olanzapine


Contoh Obat Antipsikotik
RISPERIDONE 1 mg (http://www.dexa-medica.com/ourproducts/prescriptionproducts/)
Tiap tablet salut selaput mengandung:
Risperidone 1 mg
RISPERIDONE 2 mg
Tiap tablet salut selaput mengandung:
Risperidone 2 mg
RISPERIDONE 3 mg
Tiap tablet salut selaput mengandung:
Risperidone 3 mg

FARMAKOLOGI
Cara kerja obat
Risperidone termasuk antipsikotik turunan benzisoxazole. Risperidone merupakan antagonis monoaminergik selektif dengan afinitas tinggi terhadap reseptor serotonergik 5-HT2 dan dopaminergik D2. Risperidone berikatan dengan reseptor α1-adrenergik. Risperione tidak memiliki afinitas terhadap reseptor kolinergik.
Meskipun risperidone merupakan antagonis D2 kuat, dimana dapat memperbaiki gejala positif skizofrenia, hal tersebut menyebabkan berkurangnya depresi aktivitas motorik dan induksi katalepsi dibanding neuroleptik klasik. Antagonisme serotonin dan dopamin sentral yang seimbang dapat mengurangi kecenderungan timbulnya efek samping ekstrapiramidal, dia memperluas aktivitas terapeutik terhadap gejala negatif dan afektif dari skizofrenia.

Farmakokinetik
Risperidone diabsorpsi sempurna setelah pemberian oral, konsentrasi plasma puncak dicapai setelah 1-2 jam. Absorpsi risperidone tidak dipengaruhi oleh makanan. Hidroksilasi merupakan jalur metabolisme terpenting yang mengubah risperidone menjadi 9-hidroxyl-risperidone yang aktif.
Waktu paruh (T½) eliminasi dari fraksi antipsikotik yang aktif adalah 24 jam. Studi risperidone dosis tunggal menunjukkan konsentrasi zat aktif dalam plasma yang lebih tinggi dan eliminasi yang lebih lambat pada lanjut usia dan pada pasien dengan gangguan ginjal. Konsentrasi plasma tetap normal pada pasien dengan gangguan fungsi hati.

INDIKASI
Terapi pada skizofrenia akut dan kronik serta pada kondisi psikosis yang lain, dengan gejala-gejala tambahan (seperti; halusinasi, delusi, gangguan pola pikir, kecurigaan dan rasa permusuhan) dan atau dengan gejala-gejala negatif yang terlihat nyata (seperti; blunted affect, menarik diri dari lingkungan sosial dan emosional, sulit berbicara). Juga mengurangi gejala afektif (seperti; depresi, perasaan bersalah dan cemas) yang berhubungan dengan skizofrenia.

KONTRAINDIKASI
• Hipersensitif terhadap risperidone.
DOSIS
Dosis umum
Hari ke-1 : 2 mg/hari, 1-2 x sehari
Hari ke-2 : 4 mg/hari, 1-2 x sehari (titrasi lebih rendah dilakukan pada beberapa pasien)
Hari ke-3 : 6 mg/hari, 1-2 x sehari
Dosis umum 4-8 mg per hari
Dosis di atas 10 mg/hari tidak lebih efektif dari dosis yang lebih rendah dan bahkan mungkin dapat meningkatkan gejala ekstrapiramidal. Dosis di atas 10 mg/hari dapat digunakan hanya pada pasien tertentu dimana manfaat yang diperoleh lebih besar dibanding dengan risikonya. Dosis di atas 16 mg/hari belum dievaluasi keamanannya sehingga tidak boleh digunakan.
Penggunaan pada penderita geriatrik, juga penderita gangguan fungsi ginjal dan hati:
Dosis awal: 0,5 mg, 2 x sehari
Dosis dapat disesuaikan secara individual dengan penambahan 0,5 mg, 2 x sehari (hingga mencapai 1-2 mg, 2 x sehari)
Penggunaan pada anak:
Pengalaman penggunaan pada anak-anak usia di bawah 15 tahun belum cukup.

PERINGATAN DAN PERHATIAN
• Anak-anak usia < 15 tahun tidak dianjurkan.
• Dapat menyebabkan hipotensi ortostatik, terutama pada pemberian awal. Risperidone diberikan secara hati-hati pada penderita kardiovaskular. Pengurangan dosis harus dipertimbangkan bila terjadi hipotensi.
• Penggunaan dosis di atas 5 mg, 2x sehari tidak lebih efektif dari dosis yang lebih rendah dan bahkan mungkin dapat meningkatkan gejala ekstrapiramidal. Jangan melebihi dosis yang dianjurkan. Bila diperlukan efek sedasi yang lebih, pemberian obat seperti benzodiazepin lebih baik dibanding menaikkan dosis risperidone.
• Obat antagonis reseptor dopamin berhubungan dengan induksi tardive dyskinesia, ditandai dengan pergerakan berulang yang tidak terkendali, terutama pada lidah dan/atau wajah. Dilaporkan bahwa munculnya gejala ekstrapiramidal merupakan faktor risiko terjadinya tardive dyskinesia. Jika tanda dan gejala tardive dyskinesia muncul, pertimbangkan untuk menghentikan penggunaan semua obat antipsikotik.
• Pemberian risperidone pada pasien Parkinson secara teori dapat menyebabkan penyakit memburuk.
• Hati-hati penggunaan pada pasien epilepsi.
• Pasien diberitahu bahwa berat badannya dapat meningkat.
• Risperidone dapat mengganggu aktivitas yang memerlukan konsentrasi mental, pasien disarankan tidak menyetir atau menjalankan mesin hingga diketahui kerentanan individualnya.
• Pemberian pada wanita hamil dan menyusui jika keuntungannya lebih besar dari risiko.
• Penggunaan risperidone dapat menimbulkan Neuroleptic Malignant Syndrome (NMS) yang manifestasi klinisnya adalah: Hiperpireksia, rigiditas otot, perubahan status mental dan gangguan denyut nadi, tekanan darah, aritmia, takikardia dan diaforesis. Manifestasi lainnya dapat berupa: peningkatan kreatinin fosfatase, mioglobinemia, serta gagal ginjal akut. Bila timbul gejala NMS, hentikan segera penggunaan.
• Penggunaan risperidone juga dapat menimbulkan hiperprolaktinemia (karena risperidone dapat meningkatkan kadar prolaktin sehingga kemungkinan efek karsinogenitasnya meningkat).
• Penggunaan risperidone pada penderita geriatrik serta penderita gangguan fungsi hati dan ginjal: Dosis awal dan dosis tambahan perlu dikurangi sampai separuh dosis normal.

EFEK SAMPING
• Yang umum terjadi: insomnia, agitasi, rasa cemas, sakit kepala.
• Efek samping lain: somnolen, kelelahan, pusing, konsentrasi terganggu, konstipasi, dispepsia, mual/muntah, nyeri abdominal, gangguan penglihatan, priapismus, disfungsi ereksi, disfungsi ejakulasi, disfungsi orgasme, inkontinensia urin, rinitis, ruam dan reaksi alergi lain.
• Beberapa kasus gejala ekstrapiramidal mungkin terjadi (namun insiden dan keparahannya jauh lebih ringan bila dibandingkan dengan haloperidol), seperti: tremor, rigiditas, hipersalivasi, bradikinesia, akathisia, distonia akut. Jika bersifat akut, gejala ini biasanya ringan dan akan hilang dengan pengurangan dosis dan/atau dengan pemberian obat antiparkinson bila diperlukan.
• Seperti neuroleptik lainnya, dapat terjadi neuroleptic malignant syndrome (namun jarang), ditandai dengan hipertermia, rigiditas otot, ketidakstabilan otonom, kesadaran berubah dan kenaikan kadar CPK, dilaporkan pernah terjadi. Bila hal ini terjadi, penggunaan obat antipsikotik termasuk risperidone harus dihentikan.
• Kadang-kadang terjadi orthostatic dizziness, hipotensi termasuk ortostatik, takikardia termasuk takikardia reflek dan hipertensi.
• Risperidone dapat menyebabkan kenaikan konsentrasi prolaktin plasma yang bersifat dose-dependent, dapat berupa galactorrhoea, gynaecomastia, gangguan siklus menstruasi dan amenorrhoea.
• Kenaikan berat badan, edema dan peningkatan kadar enzim hati kadang-kadang terjadi.
• Sedikit penurunan jumlah neutrofil dan trombosit pernah terjadi.
• Pernah dilaporkan namun jarang terjadi, pada pasien skizofrenik: intoksikasi air dengan hiponatraemia, disebabkan oleh polidipsia atau sindrom gangguan sekresi hormon antidiuretik (ADH); tardive dyskinesia, tidak teraturnya suhu tubuh dan terjadinya serangan.

INTERAKSI OBAT
• Hati-hati pada penggunaan kombinasi dengan obat-obat yang bekerja pada SSP dan alkohol.
• Risperidone mempunyai efek antagonis dengan levodopa atau agonis dopamin lainnya.
• Karbamazepin dapat menurunkan kadar plasma risperidone.
• Clozapine dapat menurunkan bersihan risperidone.
• Fluoksetin dapat meningkatkan konsentrasi plasma dari fraksi antipsikotik (risperidone dan 9-hydroxy-risperidone) dengan meningkatkan konsentrasi risperidone.

KEMASAN
RISPERIDONE 1 mg : Kotak, 5 blister @ 10 tablet salut selaput,
No. Reg: GKL0505038917A1
RISPERIDONE 2 mg : Kotak, 5 blister @ 10 tablet salut selaput,
No. Reg: GKL0505038917B1
RISPERIDONE 3 mg : Kotak, 5 blister @ 10 tablet salut selaput,
No. Reg: GKL0505038917C1
Antipsikotika
Antipsikotika
Sekilas tentang antipsikotika
Antipsikotika adalah obat obat yang dapat menekan fungsi-fungsi psikis tertentu tanpa mempengaruhi fungsi-fungsi umum (berpikir dan kelakuan normal).
Antipsikotika dapat meredam agresi maupun emosi serta dapat pula menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa, seperti impian dan pikiran khayal serta menormalkan perilaku tidak normal.
Oleh karena itu umumnya antipsikotika digunakan pada psikosis (penyakit jiwa yang hebat yang sulit sembuh pada pasien) misalnya seperti pada penyakit schizophrenia dan psikosis mania-depresif.
Obat-obatan antipsikosis yang dapat meredakan gejala-gejala schizophrenia adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine decanoate (prolixin).
Antipsikotika juga dikenal dengan sebutan neuroleptika atau major tranquillizers.
Gangguan-gangguan Jiwa
Sebelum melangkah ke pengertian selanjutnya dibawah ini ada sedikit ringkasan beberapa gangguan jiwa terpenting yang berkaitan dengan psikose (seperti yang kami kutip dari sumber buku Obat-Obat Penting dari Drs. Tan Hoan Tjay & Drs. Kirana Rahardja dan sumber lain pada http://ikasatyani.blogspot.com/2008_09_01_archive.html) diantaranya:
1. Psikose: Sebagai gangguan jiwa yang sangat merusak akal budi dan pengertian (insight), timbulnya pandangan tidak realities atau bizar (aneh), mempengaruhi kepribadian dan mengurangi berfungsinya si penderita. Gejala psikotis yang muncul mencakup waham/ pikiran khayal, halusinasi dan gangguan berpikir formil/ tak dapat berpikir riil. Ini seringkali disebabkan oleh schizophrenia dan dapat diobati dengan antipsikotika.
2. Neurose: ini termasuk gangguan jiwa tanpa gejla psikotis. Kepribadian pasien relatif kurang dirusak dan kontak dengan realitas tidak terganggu. Gejalanya dapat disebut kegelisahan, cemas, murung, mudah tersinggung, dan berbagai perasaan tidak enak di tubuh. Penyakit ini dapat diatasidengan tranquillizers.
3. Sindrome Borderline (BPD): dimana gejalanya terletak diperbatasan antara neurose dan psikose. Gejalanya banyak sekali yang utama antara lain: impulsivitas, instabilitas emosional dengan perubahan suasana jiwa secara mendadak, percobaan bunuh diri, kesulitan membuat kontak karena segala sesuatu dianggap sebagai hitam putih. Pengobatan dilakukan poliklinis dengan kombinasi dari suatu bentuk kombinasi psikoterapi khusus dan psikofarmaka (antipsikotika, antidepresiva, atau obat-obat yang meregulasi suasana, seperti litium).
4. Mania: kecenderungan patologis untuk suatu aktifitas tertentu, yang tidak dapat dikendalikan, misalnya mengutil (kleptomania). Penanganan mania dapat dilakukan dengan antipsikotika, khususnya klorporazin, haloperidol, dan pimozida.
5. Scizofrenia: merupakan gangguan jiwa yang pada kebanyakan kasus bersifat sangat serius, berkelanjutan, dan dapat menyebabkan kendala sosial, emosional dan kognitif. Akan tetapi banyak varian lain yang kurang serius. Scizofrenia adalah penyebab terpenting gangguan psikotis, dimana periode psikotis diselingi periode normalsaat pasien bisa berfungsi baik. Mulainya penyakit sering kali secara menyelinap. Pada pria biasanya timbul antara usia 15-25 tahun, jarang diatas 30 tahun, sedangkan pada wanita antara 25-35 tahun. Catatan lain dari scizofrenia merupakan gangguan mental klasifikasi berat dan kronik (psikotik) yang menjadi beban utama pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia sejak jaman pemerintahan Hindia Belanda sampai sekarang. Obat-obatan antipsikosis yang dapat meredakan gejala-gejala schizophrenia adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini disebut obet penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini tampaknya mengakibatkan sikap acuh pada stimulus. luar. Obat ini cukup tepat bagi penderita schizophrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan). Bukti menunjukkan bahwa obat antipsikotik ini bekerja pada bagian batang otak, yaitu sistem retikulernya, yang selalu mengendalikan masukan berita dari alat indera pada cortex cerebral.

Penggolongan Antipsikotika
Antipsikotika dibagi dalam dua kelompok besar yaitu:
1. Antipsikotika klasik/ typis, ini efektif mengatasi simtom positif. Dan dibagi dalam dua kelompok kimiawi sebagai berikut:
• Derivat fonotiazin: klorpromazin, levomepromazin dan triflupromazin (siquil)-thioridazin dan periciazin-dan flufenazin-perazin (taxilan), trifluoperazin (stemetil), dan thietilperazin (torecan)
• Derivat thioxanthen: klorprotixen (truxal) dan zuklopentixol (cisordinol).
• Derivat butirofenon: haloperidol, bromperidol, pipamperon, dan droperidol.
• Derivat butilpiperadin: pimozida, fluspirilen, dan penfluridol.
Senyawa fenotiazin dan tioksanten maupun butirofenon, difenilbutilpiperadin mewakili secara khas neuroleptika. Yang bekerja meredam di daerah afektif, tanpa merugikan secara nyawa kesadaran (walter schunack, klaus mayer, manfred haake: Senyawa Obat)
2. Antipsikotika Atypis: obat-obat atypis ini Sulprida, klozapin, risperidon, olanzapin, dan quietiapin (seroquel)bekerja efektif melawan simtom-simtom negatif, yang praktis kebal terhadap obat-obat klasik. Dan ini efek sampingnya lebih ringan, khususnya gangguan ekstrapiramidal dan dyskinesia tarda.
Sulpirid merupakanpsikofarmakon pertama dari golongan obat sulfamoilbenzami, yang digunakan dalam terapi. Senyawa ini memperlihatkan sifat neuroleptik lama dengan komponen kerja antidepresan yang nyata.
Dosis rendah antipsikotik atipikal tertentu seperti quetiapine, olanzapine dan risperidone juga diresepkan untuk efek penenang mereka, tapi bahaya neurologis dan efek samping kognitif membuat obat-obatan ini merupakan pilihan yang buruk untuk mengobati insomnia.
Dan, dosis yang lebih tinggi diambil (300 mg – 900 mg) untuk digunakan sebagai antipsikotik, sedangkan dosis yang lebih rendah (25 mg – 200 mg) yang ditandai memiliki efek penenang, misalnya jika seorang pasien membutuhkan 300 mg, ia akan lebih diuntungkan dari efek antipsikotik obat, tetapi jika dosis diturunkan ke 100 mg, akan membuat pasien merasa lebih terbius daripada 300 mg, karena bekerja sebagai obat penenang terutama pada dosis rendah http://en.wikipedia.org/wiki/Insomnia.

Indikasi Fisiologi dan penggunaan
Antipsikotika memiliki beberapa indikasi fisiologis diantaranya:
Antipsikotis: obat-obat ini digunakan untuk gangguan jiwa dengan gejala psikotis. Seperti scizofrenia, mania, depresi psikotis dan depresipsikotis. Selain itu untuk menangani gangguan perilaku seriuspada pasien demensia dan gangguan rohani, juga untuk keaadan gelisah akut dan penyakit lata.
Aaxiolitis: meniadakan rasa bimbang, takut, kegelisahan dan agresi yang hebat. Oleh karena itu kadang obat ini digunakan dalam dosis rendah sebagi minor transquillizers pada kasus-kasus besar dimana benzodiazepin (pimozida, thioridazin) kurang efektif. Berhubung efek sampingnya penggunaan antipsikotika dalam dosis rendah sebagai axiolitika tidak dianjurkan.
Antiemetis: sering digunakan untuk melawan mual dan muntah yang hebat, seperti pada terapi sitostatika, sedangkan pada mabuk jalan tidak efektif. Obat ini adalah proklorperazin dan thietilperazin. Obat yang lain adalah klorpromazin, perfenazin, triflupromazin, flufenazin, haloperidol (dalam dosis rendah), metoklopramida.
Analgetis: ini diantaranya, levomepromazin, haloperidol, dan droperidol. Kecuali droperidol obat tersebut jarang digunaka sebagai antinyeri, mengapa? Karena dapat memperkuat efek analgetika dengan jalan meningkatkan ambang nyeri.

Mekanisme Kerja
Psikofarmaka pada umumnya yang bekerja secara selektif pada susunan saraf pusat (SSP) dan mempunyai efek efek utama terhadap aktifitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik.
Semua psikofarmaka bersifat lipofil dan mudah masuk ke dalam cairan cerebrospinal. Walaupun mekanisme kerjanya pada tarf biokimiawi belum diketahui dengan pasti, tetapi setidaknya ada petunjuk kuat bahwa mekanisme ini behubungan erat dengan kadar neurotransmitter di otak atau antar keseimbanganya (Obat-Obat Penting, Tan Hoan Tjay & Kirana H, hal:424)
Antipsikotika bekerja menghambat agak kuat reseptor dopamin (D2) di sistem limbis otak dan disamping itu juga menghambat reseptor D1/D4, α1 (dan α2)-adrenerg, serotonin, muskarin, dan histamin. Tetapi pada pasien yang kebal terhadap obat-obat klasik ditemukan pula blokade tuntas dari reseptor D2 tersebut. Sebenarnya blokade-D2 saja tidak cukup, perlu mempengaruhi neurohormon lainnya seperti serotonin (5HT2), glutamat, dan gamma-butyric acid.
Saat awal kerjanya blokade-D2 cepat, begitu pula efeknya pada keadaan gelisah. Sebalinya kerjanya terhadap gejala psikose lain (waham, halusinasi, gangguan pikiran) baru terlihat setelah beberapa minggu. Mungkin masa latensi ini menyebabkan sistem reseptor-dopamin menjadi kurang peka.
Antipsikotika atypis memiliki afinitas lebih besar untuk reseptor-D1 dan D2 sehingga lebih efektif daripada obat-obat klasik untuk melawan simtom negatif, serta antipsikotika atypis lebih jarang menimbulkan gejala ekstrapiramidal dan dyskinesia tarda.

Obat antipsikotik yang beredar dipasaran dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu antipsikotik generasi pertama (APG I)/ Antipsikotik Klasik/ Typis dan antipsikotik generasi ke dua (APG ll)/ Serotonin Dopamin Antagonis (SDA)/ Antipsikotik Atipikal. APG I bekerja dengan memblok reseptor D2 di mesolimbik, mesokortikal, nigostriatal dan tuberoinfundibular sehingga dengan cepat menurunkan gejala positif tetapi pemakaian lama dapat memberikan efek samping berupa: gangguan ekstrapiramidal, tardive dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin yang akan menyebabkan disfungsi seksual / peningkatan berat badan dan memperberat gejala negatif maupun kognitif. Selain itu APG I menimbulkan efek samping antikolinergik seperti mulut kering pandangan kabur gangguaniniksi, defekasi dan hipotensi. APG I dapat dibagi lagi menjadi potensi tinggi bila dosis yang digunakan kurang atau sama dengan 10 mg diantaranya adalah trifluoperazine, fluphenazine, haloperidol dan pimozide. Obat-obat ini digunakan untuk mengatasi sindrom psikosis dengan gejala dominan apatis, menarik diri, hipoaktif, waham dan halusinasi. Potensi rendah bila dosisnya lebih dan 50 mg diantaranya adalah Chlorpromazine dan thiondazine digunakan pada penderita dengan gejala dominan gaduh gelisah, hiperaktif dan sulit tidur. APG II sering disebut sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA) atau antipsikotik atipikal. Bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada ke empat jalur dopamin di otak yang menyebabkan rendahnya efek samping extrapiramidal dan sangat efektif mengatasi gejala negatif. Obat yang tersedia untuk golongan ini adalah clozapine, olanzapine, quetiapine dan rispendon.
Dosis rendah antipsikotik atipikal tertentu seperti quetiapine, olanzapine dan risperidone juga diresepkan untuk efek penenang mereka, tapi bahaya neurologis dan efek samping kognitif membuat obat-obatan ini merupakan pilihan yang buruk untuk mengobati insomnia..
Efek Samping Psikotika
Efek samping pada sistem saraf (extrapyramidal side efect/EPSE)
1). Parkinsonisme
Efek samping ini muncul setelah 1 - 3 minggu pemberian obat. Terdapat trias gejala parkonsonisme:
Tremor: paling jelas pada saat istirahat
Bradikinesia: muka seperti topeng, berkurang gerakan reiprokal pada saat berjalan
Rigiditas: gangguan tonus otot (kaku)
2). Reaksi distonia: kontraksi otot singkat atau bisa juga lama
Tanda-tanda: muka menyeringai, gerakan tubuh dan anggota tubuh tidak terkontrol
3). Akathisia
Ditandai oleh perasaan subyektif dan obyektif dari kegelisahan, seperti adanya perasaan cemas, tidak mampu santai, gugup, langkah bolak-balik dan gerakan mengguncang pada saat duduk.
Ketiga efek samping di atas bersifat akur dan bersifat reversible (bisa ilang/kembali normal).
4). Tardive dyskinesia
Merupakan efek samping yang timbulnya lambat, terjadi setelah pengobatan jangka panjang bersifat irreversible (susah hilang/menetap), berupa gerakan involunter yang berulang pada lidah, wajah,mulut/rahang, anggota gerak seperti jari dan ibu jari, dan gerakan tersebut hilang pada waktu tidur.
b. Efek samping pada sistem saraf perifer atau anti cholinergic side efect
Terjadi karena penghambatan pada reseptor asetilkolin. Yang termasuk efek samping anti kolinergik adalah:
• Mulut kering
• Konstipasi
• Pandangan kabur: akibat midriasis pupil dan sikloplegia (pariese otot-otot siliaris) menyebabkan presbiopia
• Hipotensi orthostatik, akibat penghambatan reseptor adrenergic
• Kongesti/sumbatan nasal

Interaksi
Obat anti-psikotik rata2 mempunyai lama kerja efektif yang pendek (1-2 hari), kecuali yang memang dibuat dengan extended duration . Hal ini merupakan masalah karena perlu pemberian kronis.
Karena itu ritme diurnal harus diperhitungkan, apakah harus diberi pagi atau malam hari. Pengalaman menunjukkan bahwa bila obat yg menimbulkan ngantuk/sedasi diberi pagi hari maka penderita tidur terus sewaktu siang hari, yang akan dianggap merupakan bagian integral dari penyakitnya sendiri oleh dokter (dan pasien TENANG/ tidak gaduh). Hal ini sering terlihat; dan justru dianggap ‘berhasil’ pengobatannya. Bila terdapat tipe manik-depresi, sebaiknya obat seperti haloperidol dan sertraline, yang mempunyai efek sedasi kuat sekali diberikan malam hari saja. Pada pagi harinya dapat diberikan obat lain yang tidak sedatif seperti sulpiride (bila diperlukan). Dengan tindakan sederhana ini keadaan penderita akan jauh lebih baik

Contoh Obat-Obat Antipsikotika dan Antidepresi
1. ANTIDEPRESI
NO CONTOH OBAT GOLONGAN ANTIDEPRESI NAMA PATEN KOMPOSISI
1 Klomipramin Hidroklorida Anafranil Klomipramin Hidroklorida
2 Fluoksetin Hidroklorida Andep Fluoksetin Hidroklorida
3 Amoksapin Asendin Amoksapin
4 Sertralin Antipres Sertralin
5 Fluoksetin Hidroklorida Antiprestin Fluoksetin Hidroklorida
6 Moklobemida p-kloroN Benzamid Aurorik Moklobemida p-kloroN Benzamid
7 Fluoksetin Courage Fluoksetin
8 Buspiron Hidroklorida Buspar Buspiron Hidroklorida
9 Setralin Hidroklorida Deptral Setralin Hidroklorida
10 Sulpirida Dogmatil Sulpirida
11 Fluoksitin HCl Elizac 20 Fluoksitin HCl
12 Fluoksitin Hidroklorida Foransi Fluoksitin Hidroklorida
13 Sertralin Hidroklorida Fridep Sertralin Hidroklorida
14 Litium Karbonat Frimania Litium Karbonat
15 Serttraline Hidroklorida Iglodep Serttraline Hidroklorida
16 Fluoksitin Hidroklorida Kalxetin Fluoksitin Hidroklorida
17 Baklofen Liorezal Baklofen
18 Flukosetin Lodep Flukosetin
19 Maprotilin Hidroklorida Ludiomil Maprotilin Hidroklorida
20 Maprotilin Hidroklorida Ludios Maprotilin Hidroklorida
21 Fluvoksamin Maleat Luvox Fluvoksamin Maleat
22 Perphenazine Mutabon-D Perphenazine
23 Fluoxetine Nopres Fluoxetine
24 Levomepromaszin Nozinan Levomepromaszin
25 Sertralin Nudep Sertralin
26 Fluoksitin Hidroklorida Oxipres Fluoksitin Hidroklorida
27 Fluoksitin Hidroklorida Prestin Fluoksitin Hidroklorida
28 Fluoksitin Hidroklorida Prozac Fluoksitin Hidroklorida
29 Mirtazapin Remeron Mirtazapin
30 Maprotilin Hidroklorida Sandepril Maprotilin Hidroklorida
31 Sertraline Hidroklorida Serlof Sertraline Hidroklorida
32 Paroksetin Hidroklorida Seroxat Paroksetin Hidroklorida
33 Amineptin Hidroklorida Survector Amineptin Hidroklorida
34 Maprotilin Hidroklorida Tilsan Maprotilin Hidroklorida
35 Imipramin Hidroklorida Tofranil Imipramin Hidroklorida
36 Mianserin Hidroklorida Tolvon Mianserin Hidroklorida
37 Buspiron Hidroklorida Tran-Q Buspiron Hidroklorida
38 Trazodon Hidroklorida Trazone Trazodon Hidroklorida
39 Amitiptilin Hidroklorida Trilin Amitiptilin Hidroklorida
40 Buspiron Xiety Buspiron
41 Fluoxetine Zac Fluoxetine
42 Fluoxetine Hidroklorida Zactin Fluoxetine Hidroklorida
43 Sertralin Zerlin Sertralin
44 Sertralin Zoloft Sertralin
2. ANTIPSIKOSIS
NO CONTOH OBAT GOLONGAN ANTIPSIKOSIS NAMA PATEN KOMPOSISI
1 Flufenazin Hidroklorida Anatensol Flufenazin Hidroklorida
2 Klorpromazin Hidroklorida Cepezet Klorpromazin Hidroklorida
3 Klozapin Clorilex Klozapin
4 Klozapin Clozaril Klozapin
5 Haloperidol Dores Haloperidol
6 Haloperidol Govotil Haloperidol
7 Klorpromazin Hidroklorida Largactil Klorpromazin Hidroklorida
8 Haloperidol Lodomer Haloperidol
9 Zotepine Lodopin Zotepine
10 Tioridazin Hidroklorida Mellerril Tioridazin Hidroklorida
11 Klorpromazin Hidroklorida Meprosetil Klorpromazin Hidroklorida
12 Flufenazin Dekanoat Modecate Flufenazin Dekanoat
13 Flufenazin Hidroklorida Motival Flufenazin Hidroklorida
14 Perphenazine Mutabon-M Perphenazine
15 Risperidon Neripros Risperidon
16 Risperidon Noprenia Risperidon
17 Pimozide Orap forte Pimozide
18 Risperidon Persidal Risperidon
19 Klorpromazin Hidroklorida Promactil Klorpromazin Hidroklorida
20 Risperidone Risperdal Risperidone
21 Risperidone Risperdal Const Risperidone
22 Risperidone Rizodal Risperidone
23 Haloperidol Seradol Haloperidol
24 Haloperidol Serenace Haloperidol
Kuetiapin Fumarat Seroquel Kuetiapin Fumarat
25 Klozapin Sizoril Klozapin
26 Trifluoperazin Stelazine Trifluoperazin
27 Prokloperazin Stemetil Prokloperazin
28 Trifluoperazin Trizine Trifluoperazin
29 Risperidol Zofredal Risperidol
30 Olanzapine Zyprexa Olanzapine


Contoh Obat Antipsikotik
RISPERIDONE 1 mg (http://www.dexa-medica.com/ourproducts/prescriptionproducts/)
Tiap tablet salut selaput mengandung:
Risperidone 1 mg
RISPERIDONE 2 mg
Tiap tablet salut selaput mengandung:
Risperidone 2 mg
RISPERIDONE 3 mg
Tiap tablet salut selaput mengandung:
Risperidone 3 mg

FARMAKOLOGI
Cara kerja obat
Risperidone termasuk antipsikotik turunan benzisoxazole. Risperidone merupakan antagonis monoaminergik selektif dengan afinitas tinggi terhadap reseptor serotonergik 5-HT2 dan dopaminergik D2. Risperidone berikatan dengan reseptor α1-adrenergik. Risperione tidak memiliki afinitas terhadap reseptor kolinergik.
Meskipun risperidone merupakan antagonis D2 kuat, dimana dapat memperbaiki gejala positif skizofrenia, hal tersebut menyebabkan berkurangnya depresi aktivitas motorik dan induksi katalepsi dibanding neuroleptik klasik. Antagonisme serotonin dan dopamin sentral yang seimbang dapat mengurangi kecenderungan timbulnya efek samping ekstrapiramidal, dia memperluas aktivitas terapeutik terhadap gejala negatif dan afektif dari skizofrenia.

Farmakokinetik
Risperidone diabsorpsi sempurna setelah pemberian oral, konsentrasi plasma puncak dicapai setelah 1-2 jam. Absorpsi risperidone tidak dipengaruhi oleh makanan. Hidroksilasi merupakan jalur metabolisme terpenting yang mengubah risperidone menjadi 9-hidroxyl-risperidone yang aktif.
Waktu paruh (T½) eliminasi dari fraksi antipsikotik yang aktif adalah 24 jam. Studi risperidone dosis tunggal menunjukkan konsentrasi zat aktif dalam plasma yang lebih tinggi dan eliminasi yang lebih lambat pada lanjut usia dan pada pasien dengan gangguan ginjal. Konsentrasi plasma tetap normal pada pasien dengan gangguan fungsi hati.

INDIKASI
Terapi pada skizofrenia akut dan kronik serta pada kondisi psikosis yang lain, dengan gejala-gejala tambahan (seperti; halusinasi, delusi, gangguan pola pikir, kecurigaan dan rasa permusuhan) dan atau dengan gejala-gejala negatif yang terlihat nyata (seperti; blunted affect, menarik diri dari lingkungan sosial dan emosional, sulit berbicara). Juga mengurangi gejala afektif (seperti; depresi, perasaan bersalah dan cemas) yang berhubungan dengan skizofrenia.

KONTRAINDIKASI
• Hipersensitif terhadap risperidone.

DOSIS
Dosis umum
Hari ke-1 : 2 mg/hari, 1-2 x sehari
Hari ke-2 : 4 mg/hari, 1-2 x sehari (titrasi lebih rendah dilakukan pada beberapa pasien)
Hari ke-3 : 6 mg/hari, 1-2 x sehari
Dosis umum 4-8 mg per hari
Dosis di atas 10 mg/hari tidak lebih efektif dari dosis yang lebih rendah dan bahkan mungkin dapat meningkatkan gejala ekstrapiramidal. Dosis di atas 10 mg/hari dapat digunakan hanya pada pasien tertentu dimana manfaat yang diperoleh lebih besar dibanding dengan risikonya. Dosis di atas 16 mg/hari belum dievaluasi keamanannya sehingga tidak boleh digunakan.
Penggunaan pada penderita geriatrik, juga penderita gangguan fungsi ginjal dan hati:
Dosis awal: 0,5 mg, 2 x sehari
Dosis dapat disesuaikan secara individual dengan penambahan 0,5 mg, 2 x sehari (hingga mencapai 1-2 mg, 2 x sehari)
Penggunaan pada anak:
Pengalaman penggunaan pada anak-anak usia di bawah 15 tahun belum cukup.

PERINGATAN DAN PERHATIAN
• Anak-anak usia < 15 tahun tidak dianjurkan.
• Dapat menyebabkan hipotensi ortostatik, terutama pada pemberian awal. Risperidone diberikan secara hati-hati pada penderita kardiovaskular. Pengurangan dosis harus dipertimbangkan bila terjadi hipotensi.
• Penggunaan dosis di atas 5 mg, 2x sehari tidak lebih efektif dari dosis yang lebih rendah dan bahkan mungkin dapat meningkatkan gejala ekstrapiramidal. Jangan melebihi dosis yang dianjurkan. Bila diperlukan efek sedasi yang lebih, pemberian obat seperti benzodiazepin lebih baik dibanding menaikkan dosis risperidone.
• Obat antagonis reseptor dopamin berhubungan dengan induksi tardive dyskinesia, ditandai dengan pergerakan berulang yang tidak terkendali, terutama pada lidah dan/atau wajah. Dilaporkan bahwa munculnya gejala ekstrapiramidal merupakan faktor risiko terjadinya tardive dyskinesia. Jika tanda dan gejala tardive dyskinesia muncul, pertimbangkan untuk menghentikan penggunaan semua obat antipsikotik.
• Pemberian risperidone pada pasien Parkinson secara teori dapat menyebabkan penyakit memburuk.
• Hati-hati penggunaan pada pasien epilepsi.
• Pasien diberitahu bahwa berat badannya dapat meningkat.
• Risperidone dapat mengganggu aktivitas yang memerlukan konsentrasi mental, pasien disarankan tidak menyetir atau menjalankan mesin hingga diketahui kerentanan individualnya.
• Pemberian pada wanita hamil dan menyusui jika keuntungannya lebih besar dari risiko.
• Penggunaan risperidone dapat menimbulkan Neuroleptic Malignant Syndrome (NMS) yang manifestasi klinisnya adalah: Hiperpireksia, rigiditas otot, perubahan status mental dan gangguan denyut nadi, tekanan darah, aritmia, takikardia dan diaforesis. Manifestasi lainnya dapat berupa: peningkatan kreatinin fosfatase, mioglobinemia, serta gagal ginjal akut. Bila timbul gejala NMS, hentikan segera penggunaan.
• Penggunaan risperidone juga dapat menimbulkan hiperprolaktinemia (karena risperidone dapat meningkatkan kadar prolaktin sehingga kemungkinan efek karsinogenitasnya meningkat).
• Penggunaan risperidone pada penderita geriatrik serta penderita gangguan fungsi hati dan ginjal: Dosis awal dan dosis tambahan perlu dikurangi sampai separuh dosis normal.

EFEK SAMPING
• Yang umum terjadi: insomnia, agitasi, rasa cemas, sakit kepala.
• Efek samping lain: somnolen, kelelahan, pusing, konsentrasi terganggu, konstipasi, dispepsia, mual/muntah, nyeri abdominal, gangguan penglihatan, priapismus, disfungsi ereksi, disfungsi ejakulasi, disfungsi orgasme, inkontinensia urin, rinitis, ruam dan reaksi alergi lain.
• Beberapa kasus gejala ekstrapiramidal mungkin terjadi (namun insiden dan keparahannya jauh lebih ringan bila dibandingkan dengan haloperidol), seperti: tremor, rigiditas, hipersalivasi, bradikinesia, akathisia, distonia akut. Jika bersifat akut, gejala ini biasanya ringan dan akan hilang dengan pengurangan dosis dan/atau dengan pemberian obat antiparkinson bila diperlukan.
• Seperti neuroleptik lainnya, dapat terjadi neuroleptic malignant syndrome (namun jarang), ditandai dengan hipertermia, rigiditas otot, ketidakstabilan otonom, kesadaran berubah dan kenaikan kadar CPK, dilaporkan pernah terjadi. Bila hal ini terjadi, penggunaan obat antipsikotik termasuk risperidone harus dihentikan.
• Kadang-kadang terjadi orthostatic dizziness, hipotensi termasuk ortostatik, takikardia termasuk takikardia reflek dan hipertensi.
• Risperidone dapat menyebabkan kenaikan konsentrasi prolaktin plasma yang bersifat dose-dependent, dapat berupa galactorrhoea, gynaecomastia, gangguan siklus menstruasi dan amenorrhoea.
• Kenaikan berat badan, edema dan peningkatan kadar enzim hati kadang-kadang terjadi.
• Sedikit penurunan jumlah neutrofil dan trombosit pernah terjadi.
• Pernah dilaporkan namun jarang terjadi, pada pasien skizofrenik: intoksikasi air dengan hiponatraemia, disebabkan oleh polidipsia atau sindrom gangguan sekresi hormon antidiuretik (ADH); tardive dyskinesia, tidak teraturnya suhu tubuh dan terjadinya serangan.

INTERAKSI OBAT
• Hati-hati pada penggunaan kombinasi dengan obat-obat yang bekerja pada SSP dan alkohol.
• Risperidone mempunyai efek antagonis dengan levodopa atau agonis dopamin lainnya.
• Karbamazepin dapat menurunkan kadar plasma risperidone.
• Clozapine dapat menurunkan bersihan risperidone.
• Fluoksetin dapat meningkatkan konsentrasi plasma dari fraksi antipsikotik (risperidone dan 9-hydroxy-risperidone) dengan meningkatkan konsentrasi risperidone.

KEMASAN
RISPERIDONE 1 mg : Kotak, 5 blister @ 10 tablet salut selaput,
No. Reg: GKL0505038917A1
RISPERIDONE 2 mg : Kotak, 5 blister @ 10 tablet salut selaput,
No. Reg: GKL0505038917B1
RISPERIDONE 3 mg : Kotak, 5 blister @ 10 tablet salut selaput,
No. Reg: GKL0505038917C1
Rabu, 02 Desember 2009
apotek dan managementnya



Apotek berasal dari bahasa yunani apotheca yang secara harfiah berarti "penyimpanan". Bila diartikan definisi apotek adalah tempat menjual dan kadang membuat atau meramu obat. Apotek juga merupakan tempat apoteker melakukan praktik profesi farmasi sekaligus menjadi peritel. Dimana dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Salah satu realisasi pembangunan dibidang farmasi oleh pemerintah dan swasta adalah dengan menyediakan sarana pelayanan kesehatan salah satunya adalah apotek.
Apotek yang merupakan suatu jenis bisnis eceran (retail) yang komoditasnya (barang yang diperdagangkan) terdiri dari perbekalan farmasi (obat dan bahan obat) dan perbekalan kesehatan (alat kesehatan). Sebagai perantara, apotek dapat mendistribusikan perbekalan farmasi dan perbekalan kesehatan dari supplier kepada konsumen, memiliki beberapa fungsi kegiatan yaitu : pembelian, gudang, pelayanan dan penjualan, keuangan, dan pembukuan, sehingga agar dapat di kelola dengan baik, maka seorang Apoteker Pengelola Apotek (APA) disamping ilmu kefarmasian yang telah dikuasai, juga diperlukan ilmu lainnya seperti ilmu Pemasaran (marketing) dan ilmu akuntansi (accounting). Apotek bukanlah suatu badan usaha yang semata-mata hanya mengejar keuntungan saja tetapi apotek mempunyai fungsi sosial yang menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan terjamin keabsahannya.
Dalam upaya usaha untuk memajukan kesejahteraan umum yang berarti mewujudkan suatu tingkat kehidupan secara optimal, yang memenuhi kebutuhan manusia termasuk kesehatan, tentunya diperlukan suatu “manajemen Perapotekan “ untuk mengelola apotek secara baik dan benar. Sehingga dapat mengelola apotek sesuai dengan prinsip-prinsip bisnis yang dapat memberikan keuntungan kepada pihak-pihak yang memiliki kepentingan (stake holder) tanpa harus menghilangkan fungsi sosoialnya di masyarakat.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengelola apotek adalah:
Lokasi
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi apotek :
a. Letaknya strategis
b. Penduduk yang cukup padat
c. Daerah yang ramai
d. Dekat dengan tempat praktek dokter
e. Keadaan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.
Persyaratan administratif
Beberapa hal di bawah ini harus diperhatikan dalam mendirikan suatu apotek, dan harus sudah di lengkapi diantaranya:
a. Fotokopi SIK atau SP
b. Fotokopi KTP dan surat Pernyataan tempat tinggal secara nyata
c. Fotokopi denah bangunan surat yang menyatakan status bangunan dalam bentuk akte hak milik
d. Daftar Asisten Apoteker (AA) dengan mencantumkan nama, alamat, tanggal lulus dan SIK
e. Asli dan fotokopi daftar terperinci alat perlengkapan apotek
f. Surat Pernyataan APA tidak bekerja pada perusahaan farmasi dan tidak menjadi APA di Apotek lain
g. Asli dan fotokopi Surat Izin atas bagi PNS, anggota ABRI dan pegawai instansi pemerintah lainnya
h. Akte Perjanjian kerjasama APA dan PSA
i. Surat Pernyataan PSA tidak terlibat pelanggaran PerUndang-Undangan farmasi
Pemilihan Nama
Pemilihan nama harus sangat di perhatikan, karena ini harus menarik tapi juga harus baik sesuai etika.
Alat dan Perbekalan Farmasi yang diperlukan
Alat dan perbekalan yang diperlukan untuk pendirian suatu apotek adalah :
1. Bangunan, terdiri dari :
a. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien
b. Tempat mendisplai informasi, brosur bagi pasien
c. Ruang tertutup untuk konseling
d. Ruang peracikan dan penyerahan obat
e. Toilet
2. Kelengkapan bangunan apotek
a. Sumber air
b. Sumber penerangan
c. Alat pemadam
d. Ventilasi
e. Sanitasi
f. Papan nama APA
g. Billboard nama apotek
3. Perlengkapan kerja
a. Alat pengolahan / peracikan :
(1) Batang pengaduk
(2) Cawan penguap
(3) Corong
(4) Gelas ukur, gelas piala
(5) Kompor / pemanas
(6) Labu Erlenmeyer
(7) Mortir
(8) Penangas air
(9) Panci
(10) Rak tempat pengering
(11) Spatel logam / tanduk / gelas/ porselen
(12) Thermometer
(13) Timbangan milligram + anak timbangan (ditera)
(14) Timbangan gram + anak timbangan (ditera)
b. Wadah
(1) Pot / botol
(2) Kertas perkamen
(3) Klip dan kantong plastic
(4) Etiket (biru dan putih)
c. Tempat penyimpanan
(1) Lemari / rak obat
(2) Lemari narkotika
(3) Lemari psikotropika
(4) Lemari bahan berbahaya
(5) Kulkas
4. Perlengkapan Administrasi
a. Blanko surat pesanan
b. Blanko faktur penjualan
c. Blanko nota penjualan
d. Blanko salinan resep
e. Blanko laporan narkotika dan psikotropika
f. Buku catatan pembelian
g. Buku catatan penjualan
h. Buku catatan keuangan
i. Buku catatan narkotika dan psikotropika
j. Buku catatan racun dan bahan berbahaya
k. Kartu stok obat
5. Kelengkapan buku pedoman
a. Buku standar yang wajib :
(1) Farmakope Indonesia edisi terakhir
(2) Kumpulan peraturan / UU
b. Buku lainnya :
(1) IMMS, ISO edisi terbaru
(2) Pharmakologi dan terapi
Tenaga Kerja
Selain Apoteker Pengelola Apotek, dibutuhkan beberapa tenaga kerja yaitu :
Asisten Apoteker : 2 orang
Tenaga administrasi / kasir / obat bebas : 1 orang
Pembantu umum : 1 orang
Masing-masing tenaga kerja mempunyai tugas, tanggung jawab dan wewenang sesuai dengan peranannya di dalam apotek.
Strategi Dan Inovasi
Dalam rangka mengembangkan usaha perapotekan ini diperlukan strategi inovasi khusus, sehingga nantinya diharapkan mampu mempertahankan eksistensi apotek dan mampu memajukan apotek dengan membuka cabang-cabang baru di daerah lain. Adapun strategi yang ditempuh antara lain :
1. Menyediakan jasa konseling secara gratis oleh APA.
2. Menyediakan obat-obatan yang dibutuhkan oleh pasien. Jika obat yang dibutuhkan pasien tidak ada maka berusaha mengambil di apotek lain, diusahakan agar pasien pulang mendapat obat yang diperlukan tanpa copie resep.
3. Monitoring pasien. Monitoring dilakukan terhadap pasien via telepon, terutama untuk pasien dengan penyakit kronis. Hal ini dilakukan untuk mengontrol keadaan pasien dan meningkatkan kepercayaan pasien terhadap apotek.
4. Fasilitas yang menarik. Ruang tunggu dibuat senyaman mungkin dengan fasilitas AC, TV, tempat duduk yang nyaman, majalah kesehatan, Koran dan tabloid serta tempat parkir yang luas.
5. Kerjasama dengan praktek dokter
6. Menerima pelayanan resep dengan sistem antar jemput
Studi Kelayakan Apotek
Ini menyangkut modal, dari mana itu diperoleh, dan membagi modal dalam beberapa bagian, selain itu juga membuat rencana anggaran dan pendapatan , biaya lain lain, proyeksi pendapatan, Perhitungan batas laba / rugi (BEP).
Demikian pembahasan yang dapat kami sampikan semoga bermanfaat.
Penggunaan Anti-Inflamasi Non-Steroid Yang Rasional Pada Penanggulangan Nyeri Rematik
Penggunaan Anti-Inflamasi Non-Steroid Yang Rasional Pada
Penanggulangan Nyeri Rematik

Abstrak
Rasa sakit atau nyeri sendi mengundang penderita untuk segera mengobatinya
apakah dengan farmakoterapi, fisioterapi dan atau pembedahan. Pada kebanyakan
penderita dengan analgetika sederhana belum mampu mengontrol rasa sakit akibat
artritis. Obat anti-inflamasi non-steroid (AINS) ternyata efektif mengontrol rasa sakit
akibat inflamasi rematik. Namun sediaan analgetika ini selalu memberikan efek
samping yang kadangkala dapat berakibat fatal.
Efek terapi dan efek samping AINS berhubungan dengan mekanisme kerja
sediaan ini pada enzim cyclooxygenase-1 (COX-1) dan cyclooxygenase-2 (COX-2)
yang dibutuhkan dalam biosintesis prostaglandin. Prostaglandin sendiri merupakan
sediaan pro-inflamasi, tetapi juga merupakan sediaan gastroprotektor. Oleh karena
AINS dengan selektivitas menghambat COX-2, maka sediaan ini diduga bebas dari
efek samping yang menakutkan pada saluran cerna. Pada kenyataannya, tidak satupun
AINS dengan selektivitas penghambat COX-2 bebas dari efek samping pada saluran
cerna dan berbagai efek samping lainnya diluar saluran cerna, misalnya pada sistem
kardiovaskuler.
Pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antinyeri rematik
secara rasional adalah 1) AINS terdistribusi ke sinovium, 2) mula kerja AINS segera
(dini), 3) masa kerja AINS lama (panjang), 4) bahan aktif AINS bukan rasemik, 5)
bahan aktif AINS bukan prodrug, 6) efek samping AINS minimal, 7) memberikan
interaksi yang minimal dan 8) dengan mekanisme kerja multifactor.

Pendahuluan
Rasa sakit atau nyeri sendi sering menjadi penyebab gangguan aktivitas
sehari-hari penderita. Hal ini mengundang penderita untuk segera mengatasinya
apakah dengan upaya farmakoterapi, fisioterapi dan atau pembedahan. Farmakoterapi
berawal dengan pemberian analgetika sederhana dan edukasi. Pada kebanyakan
penderita dengan analgetika sederhana belum mampu mengontrol rasa sakit akibat
artritis. Anti-inflamasi non-steroid (AINS) ternyata efektif mengontrol rasa sakit
akibat inflamasi rematik. Namun sediaan analgetik ini selalu memberikan efek
samping yang kadangkala dapat berakibat fatal (Lelo, 2001).
Mengingat bahwa penggunaan AINS akan meningkatkan risiko iatrogenic,
Tamblyn dkk (1997) mengkaji peresepan AINS yang tidak diperlukan. Grup peneliti
ini menemukan bahwa gastropati akibat penggunaan AINS didiagnosa dengan tepat
pada 93,4% kunjungan dan ditanggulangi dengan benar pada 77,4% kunjungan.
Risiko peresepan AINS yang tidak diperlukan lebih besar bila kontraindikasi AINS
tidak dikaji dengan seksama) dan risiko penanggulangan efek samping yang tak benar
makin meningkat akibat masa kunjungan yang lebih singkat.

e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
1Untuk melakukan terapi medikamentosa yang rasional pada penderita nyeri
rematik, diperlukan pengertian ringkas tentang:
• mekanisme terjadinya nyeri rematik dan tempat kerja antinyeri
• AINS sebagai antinyeri rematik
• pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antinyeri rematik

Mekanisme terjadinya nyeri rematik dan tempat kerja antinyeri
Nyeri timbul oleh karena aktivasi dan sensitisasi sistem nosiseptif, baik perifer
maupun sentral. Dalam keadaan normal, reseptor tersebut tidak aktif. Dalam keadaan
patologis, misalnya inflamasi, nosiseptor menjadi sensitive bahkan hipersensitif.
Adanya pencederaan jaringan akan membebaskan berbagai jenis mediator inflamasi,
seperti prostaglandin, bradikinin, histamin dan sebagainya. Mediator inflamasi dapat
mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan munculnya nyeri. AINS mampu
menghambat sintesis prostaglandin dan sangat bermanfaat sebagai antinyeri.
Berawal dari perubahan fosfolipid menjadi asam arakidonat yang merupakan
substrat bagi enzim prostaglandin endoperoxide synthase (PGHS; COX,
cyclooxygenase) menjadi PGG2, dan reduksi peroxidative PGG2 menjadi PGH2.
Selanjutnya sebagai bahan baku prostaglandin, endoperoxide PGH2 dirubah menjadi
berbagai prostaglandin. Saat ini dikenal dua iso-enzim COX, yaitu COX-1 dan COX-
2. COX-1 sebagai enzim "constitutive" merubah PGH2 menjadi berbagai jenis
prostaglandin (PGI2, PGE2) dan tromboxan (TXA2) yang dibutuhkan dalam fungsi
homeostatis. COX-2 yang terdapat di dalam sel-sel imun (macrophage dll), sel
endotel pembuluh darah dan fibroblast sinovial, sangat mudah diinduksi oleh berbagai
mekanisme, akan merubah PGH2 menjadi PGE2 yang berperan dalam kejadian
inflamasi, nyeri dan demam. Oleh karena itu COX-2 dikenal sebagai enzim
"inducible". Pada kenyataannya, baik COX-1 dan COX-2 adalah isoenzim yang dapat
diinduksi (Lelo, 2001).
Sepuluh tahun yang lalu, Wittenberg dkk (1993) membuktikan bahwa dari
jaringan sinovium dilepaskan berbagai eicosanoid prostaglandin E2 (PGE2), 6-keto-
PGF1 alpha, leukotriene B4 (LTB4), dan LTC4, tapi bukan dari bagian rawan atau
tulang sendi. Grup peneliti ini juga menemukan bahwa diclofenak dan indomethacin
dapat menghambat pembebasan prostaglandin, tanpa mempengaruhi produksi
leukotriene.


AINS sebagai antinyeri rematik
Sediaan AINS yang mampu menghambat sintesis mediator nyeri prostaglandin
mempunyai struktur kimia yang heterogen dan berbeda di dalam farmakodinamiknya.
Oleh karena itu berbagai cara telah diterapkan untuk mengelompokkan AINS, apakah
menurut 1). struktur kimia, 2). tingkat keasaman dan 3). ketersediaan awalnya (pro-
drug atau bukan) dan sekarang berdasarkan selektivitas hambatannya pada COX-1
dan COX-2, apakah selektif COX-1 inhibitor, non-selektif COX inhibitor,
preferentially selektif COX-2 inhibitor dan sangat selektif COX-2 inhibiotr.
Khasiat suatu AINS sangat ditentukan kemampuannya menghambat sintesis
prostaglandin melalui hambatan aktivitas COX. Dari penelitian Duffy dkk (2003)
diketahui bahwa kadar PGE2 penderita rematik di plasma berkurang setelah
pemberian diklofenak (dari 28.15 +/- 2.86 ng/mL menjadi 0.85 +/- 2.86 ng/mL setelah
4 jam pemberian) dan nimesulide (dari 24.45 +/- 2.71 ng/mL menjadi 1.74 +/- 2.71
ng/ mL setelah 2 jam pemberian) dan di cairan sinovium berkurang setelah pemberian
diklofenak dan nimesulide (dari 319 +/- 89 pg/mL menjadi 235 +/- 72 pg/mL setelah
4 jam pemberian) bahkan pada pemakaian jangka lama kadar PGE2 di cairan

e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
2sinovium dapat turun menjadi 61 +/- 24 pg/ mL. Aspirin dan meloxicam juga mampu
menurunkan kadar prostaglandin di darah dan cairan sinovium (Jones dkk, 2002).
Dari berbagai uji klinik pada penderita osteoarthritis ditunjukkan bahwa AINS
baik yang non-selektif (naproxen) maupun selektif menghambat aktivitas COX-2
(celecoxib) berkhasiat dalam mengurangi nyeri rematik (Bensen dkk, 1999). Hasil
temuan yang sama dilaporkan antara rofecoxib dan ibuprofen (Ehrich dkk, 1999) serta
diclofenac (Cannon dkk, 2000). Simon dkk (1999) mengkaji khasiat anti-nyeri
celecoxib dan naproxen pada penderita rheumatoid arthritis. Kelompok peneliti ini
menemukan bahwa kedua AINS ini efektif dalam menanggulangi nyeri dan inflamasi
pada penderita rheumatoid arthritis. Namun, kelihatannya makin lebih selektif suatu
AINS menghambat COX-1 makin berkurang khasiatnya sebagai antiinflamasi, dan
sebaliknya dengan sediaan yang makin lebih selektif menghambat COX-2.
Penggunaan AINS sebagai sediaan analgetika tunggal akan menunjukkan efek
mengatap (ceiling effect). Niederberger dkk (2001) menunjukkan kejadiaan tersebut
pada celecoxib, dimana dengan dosis 800 mg per-hari memberikan khasiat analgetik
yang tidak lebih besar daripada dosis optimum yang dianjurkan (200 mg), malah lebih
rendah daripada dosis 200 mg per-hari. Oleh karena semua AINS menunjukkan efek
mengatap (ceiling effect) yang akan membatasi khasiatnya pada penanggulangan
nyeri rematik yang makin meningkat parah, sehingga penggunaan dosis yang lebih
besar dari yang semestinya tidak dianjurkan.


Pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antinyeri rematik

AINS sebagai antinyeri paling bermanfaat bila nyeri disertai dengan adanya
proses inflamasi. Secara farmakologis, AINS yang diinginkan sebagai antinyeri
rematik adalah sediaan yang sudah terbukti:

1 terdistribusi ke sinovium
Dalam pengobatan radang sendi yang merupakan organ sasaran AINS adalam
membran sinovium. Tangkapan ion AINS (yang umumnya bersifat asam lemah) di
lingkungan intraseluler yang lebih alkalis akan memacu ambilannya di sendi yang
mengalami peradangan. Hal ini jelas akan memberikan nilai tambah dalam khasiat
klinis suatu AINS (Borenstein, 1995). Borenstein (1995) berhasil memantau
keberadaan AINS yang bersifat asam lemah (naproxen, oxaprozin dan piraoxicam) di
sinovium.
Berdasarkan telusuran kepustakaan yang telah dilakukan, sangat terbatas ragam
AINS yang terbukti mampu merembes ke sinovium, diantaranya diclofenac
(Blagbrough dkk,1992; Gallacchi & Marcolongo, 1993 ; Davies & Anderson, 1997),
ibuprofen (Blagbrough dkk,1992), ketoprofen (Barbanoj dkk, 2001; Audeval-Gerard
dkk, 2000), meloxicam (Davies & Anderson, 1997) dan naproxen (Blagbrough
dkk,1992). Cukup banyak sediaan AINS yang diberikan secara topikal dalam
penanggulangan nyeri inflamasi sendi. Beberapa sediaan AINS diklofenak (Davies &
Anderson, 1997), ketoprofen (Audeval-Gerard dkk, 2000) dan meloxicam (Davies &
Skjodt, 1999) ternyata mampu merembes ke dalam kulit dan sampai ke sinovium.
Secara farmakologis sediaan AINS seperti inilah yang diharapkan akan memberikan
khasiat antinyeri rematik yang nyata.

2 mula kerja AINS yang segera (dini)
Mula kerja obat biasanya berkaitan dengan kecepatan penyerapan obat, makin
cepat kadar puncak obat tercapai makin dini efek AINS muncul. Diklofenak bila

e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
3diberikan peroral akan diserap dengan cepat dan sempurna (Davies & Anderson,
1997) akan memberikan mula kerja yang segera. Contoh sediaan AINS lain yang juga
cepat penyerapannya adalah asam mefenamat, ibuprofen, ketoprofen, nimesulide dan
lainnya.
Selain itu, kerja suatu AINS sangat dipengaruhi oleh distribusinya ke cairan
sinovium. Diklofenak yang terdistribusi ke cairan sinovium menunjukkan hubungan
konsentrasi-efek diklofenak (Davies & Anderson, 1997). Suatu hal yang perlu
menjadi catatan bahwa distribusi AINS ke cairan sinovium akan meningkat pada fase
inflamasi. Misalnya meloxicam, ratio konsentrasi di cairan sinovium / di plasma pada
inflamasi akut (0,58) lebih besar daripada tanpa inflamasi (0,38) (Lapicque dkk, 2000).

3 masa kerja AINS yang lama (panjang)
Biasanya, makin panjang waktu paruh AINS makin lama masa kerja AINS.
Sebaiknya suatu AINS bekerja lama kalau perlu lebih dari 24 jam sehingga barangkali
cukup diberikan satu kali dalam satu minggu. Salah satu derivate oxicam (meloxicam)
memiliki waktu paruh sekitar 20 jam, membuat sediaan ini layak untuk diberikan
sekali sehari (Davies & Skjodt, 1999). Namun di sisi lain makin panjang waktu paruh
AINS (misalnya t ½ piroxicam = 50 jam atau lebih dari 2 hari 2 malam ) makin
mudah terjadi akumulasi (penumpukan) AINS di dalam tubuh penderita. Apa bila
AINS tersebut diberikan lebih sering, sudah tentu sebagai akibatnya makin mudah
terjadi efek toksik AINS dengan segala resiko.
Upaya untuk memperpanjang masa kerja AINS dengan waktu paruh singkat
(misalnya ibuprofen dan diklofenak) dapat dilakukan merubah formulasinya menjadi
sediaan lepas lambat. Sediaan lepas lambat memiliki kelebihan dalam hal tidak
adanya perubahan waktu paruh sediaan, dengan kata lain secara farmakologis lebih
aman daripada AINS dengan waktu paruh panjang.
Suatu hal yang perlu dicatat adalah apabila suatu sediaan AINS telah
terdistribusi ke sinovium biasanya akan memberikan waktu paruh yang lebih panjang
daripada yang ada di plasma (Audeval-Gerard dkk, 2000). Setelah pemberian
piroxicam (20 mg), kadar AINS di plasma (2.51+/-0.25 microg/ml) lebih tinggi daripa
di cairan sinovium (1.31+/-0.76 microg/ml), tetapi waktu paruh di cairan sinovium
(90.7 h) lebih panjang daripada yang di plasma (32.5 h) (Bannwart dkk, 2001).

4 bahan aktif AINS bukan rasemik
Dalam pengembangan analgetika AINS dari derivate asam propionate akan
selalu dalam bentuk racemik, campuran S-enantiomer dan R-enantiomer. Dari banyak
kajian diketahui bahwa bentuk S-enantiomer memiliki aktivitas biologic AINS yang
nyata dibandingkan bentuk R-enantiomer, misalnya pada ketorolac (Jett dkk, 1999)
dan ketoprofen (Verde dkk, 2001). Dengan kata lain setiap kali dokter meresepkan
ketoprofen sebagai AINS pilihan untuk penderitanya berarti dokter menyuruh
penderita menghabiskan separuh dari dana pengobatan untuk bahan obat yang kurang
berkhasiat R-enantiomer ketoprofen. Setelah pemberian campuran rasemik (S)-(+)-
dan (R)-(-)-ketoprofen, (S)-(+)-ketoprofen merupakan enantiomer utama baik di
plasma maupun di cairan sinovium (Verde dkk, 2001). Namun disposisi ketoprofen di
cairan sinovium tidak bergantung pada steroselektivitas, dimana (S)-(+)-ketoprofen
tidak dirubah menjadi (R)-(-)-ketoprofen (Barbanoj dkk, 2001).

e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
45 bahan aktif AINS bukan prodrug.
Ada beberapa AINS, misalnya sulindac dan nabumeton, baru akan berkhasiat
sebagai analgetik antiinflamasi apabila AINS tersebut dimetabolisme lebih dahulu
dari bahan yang tidak aktif menjadi metabolit yang aktif.

6 efek samping AINS yang minimal
Dalam penanggulangan rasa sakit dan gejala inflamasi lainnya pada seorang
penderita, kesempatan untuk mengetahui apakah penderita rawan efek samping
OAINS sangat terbatas. Namun harus mempertimbangkan apakah kualitas hidup
penderita setelah mendapat AINS lebih baik dari pada tidak mendapat pengobatan.
AINS memiliki berbagai efek yang merugikan, termasuk efeknya pada saluran cerna
dan ginjal, namun kejadian efek samping ini berbeda diantara AINS yang ada
dipasaran. Perbedaan ini sering menjadi factor utama dalam pemilihan AINS oleh
para dokter. Efek samping AINS yang paling sering terjadi adalah:
• gangguan saluran cerna
Secara klinis, gangguan saluran cerna (apakah sebagai efek topikal atau
sistemik) merupakan efek samping AINS yang paling penting. Bila yang menjadi
permasalahan adalah efek iritasi langsung pada lambung, dapat diberikan sediaan oral
AINS non-acidic, misalnya derivat naftalen (nabumetone) atau derivat pyrazolon
(metamizol), atau AINS dengan pKa mendekati netral, misalnya nimesulide,
celecoxib dan rofecoxib. Usaha lain adalah mengunakan sediaan AINS per-oral
dengan formulasi tertentu (buffered, enteric coated), per-injeksi, per-rectal atau
topical (salep). Namun usaha ini belum mampu menurunkan kejadian tukak lambung.
Meskipun dinyatakan bahwa AINS yang selektif menghambat COX-2
celecoxib dan rofecoxib sangat minimal mencederai mukosa saluran cerna, hasil
kajian Fiorucci dkk (2003) menunjukkan bahwa bila celecoxib digabung dengan
asetosal maka pencederaan mukosa saluran cerna lebih banyak bila diberikan sendiri-
sendiri. Celecoxib dan rofecoxib secara nyata meningkatkan keparahan kerusakan
mukosa saluran cerna.
• gangguan fungsi ginjal
Pengembangan sediaan AINS dengan hambatan sangat selektif COX-2
celecoxib dan rofecoxib membuat para dokter untuk lebih peduli dengan peran
masing-masing COX-1 dan COX-2 pada faal ginjal. Bukti menunjukkan bahwa
hambatan aktivitas COX-2 akan menyebabkan retensi natrium. Hal ini sudah tentu
dapat meninggikan tekanan darah penderita. Lebih lanjut, kejadian edema pada
penderita osteoartritis yang mendapat sediaan AINS dengan hambatan sangat selektif
COX-2 menunjukkan bahwa makin selektif (rofecoxib, 25 mg) makin nyata kejadian
edemanya dibandingkan yang kurang selektif (celecoxib, 200 mg) (Whelton,2001).
• gangguan sistem kardiovaskuler
Sayangnya efek samping AINS pada sistem kardiovaskuler kurang menjadi
perhatian, seperti diketahui bahwa beberapa AINS mampu memperburuk tekanan
darah penderita hipertensi. Hal ini menjadi lebih berarti mengingat tingginya
persentase penderita hipertensi yang juga mengalami osteoartritis. Pengkajian meta-
analisis sebelumnya oleh Pope dkk (1993) menunjukkan bahwa peninggian mean
arterial pressure pada penderita hipertensi yang mendapat indometasin adalah 3.59
mm Hg dan yang mendapat naproxen adalah 3.74 mm Hg. Sementara perubahan
mean arterial pressure pada mereka yang mendapat ibuprofen (0.83 mm Hg),
piroxicam (0.49 mm Hg), dan sulindac (0.16 mm Hg) relatif sangat minimal. Data
yang ada berkaitan dengan penggunaan AINS dengan hambatan selektif COX-2 pada
tekanan darah penderita hipertensi sangat terbatas. Graves dan Hunder (2000)

e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
5menemukan perburukan tekanan darah penderita hipertensi yang mendapat AINS
dengan hambatan selektif COX-2 celecoxib dan rofecoxib dengan peninggian tekanan
darah sistol (18 - 51 mmHg) dan diastole (10 - 22 mmHg) yang cukup besar.
• gangguan pembekuan darah
Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa penghambatn COX-1 akan berakibat
terjadinya penurunan produksi tromboxan, yang diikuti dengan perpanjangan waktu
pembekuan darah kemudahan terjadinya perdarahan. AINS konvensional (diklofenak
dan piroksikam) meskipun diberikan dalam bentuk salep (gel) tetap mampu
meningkatkan kejadian efek samping pada pembekuan darah. Penghambat COX-2
celecoxib, nimesulid dan lainnya secara eksperimental tidak mengganggu pembekuan
darah. Namun sampai saat ini baru Crofford dkk (2000) yang melaporkan temuan
mereka adanya trombosis pada penderita yang diobati dengan celecoxib. Bersamaan
dengan meningkatnya proses vasokonstriksi, peningkatan pembekuan darah akibat
makin bebasnya jalur COX-1 dalam mensintesis tromboxan akan mempermudah
terjadinya serangan jantung pada pemakai AINS dengan penghambatan COX-2 yang
sangat selektif.

7 memberikan interaksi yang minimal
Umumnya semua sediaan AINS akan berikatan kuat dengan protein plasma.
Hal ini akan memberikan dampak tertentu dalam hal interaksinya dengan obat-obatan
lain yang membutuhkan albumin sebagai protein plasma (Lelo, 2001). Interaksi obat
antara AINS dengan beraneka ragam jenis obat selalu memberikan efek yang tak
menguntungkan pada penderita misalnya penggabungan AINS dengan ACE-inhibitor
dapat mengundang terjadinya sinkop. Sementara interaksi AINS terhadap penyakit
penyerta juga dapat berakibat fatal, misalnya penggunaan AINS pada penderita payah
jantung (Lelo, 2001).

8 mekanisme kerja multifactor
Nyeri inflamasi seperti yang dikeluhkan penderita rematik, bukan semata-mata
akibat peningkatan mediatar inflamasi prostaglandin. Berbagai mediator inflamasi
lain (misalnya bradikinin) dan sitokin (TNF-alfa dan interleukin) turut serta
dilepaskan dan berperan serta dalam mencetuskan nyeri inflamasi. Interleukin-1beta,
suatu proinflammatory cytokine, menyebabkan pembebasan secara perlahan PGE2.
Sebaliknya, bradikinin, suatu mediator kimiawi pada inflamasi, memacu pembebasan
PGE2 dengan cepat.
Naproxen, berbeda dari nimesulide, tidak mampu menghambat ekspresi COX-
2 yang dipicu oleh IL-1 beta (Fahmi dkk, 2001). Henrotin dkk (1999) mengkaji efek
diklofenak dan nimesulide terhadap produksi prostaglandin dan sitokin pada
chondrocyte manusia. Grup peneliti ini membuktikan bahwa produksi PGE-2 dan IL-
6 ditekan baik pada chondrocyte yang distumulasi dengan atau tanpa stimulasi IL-1
beta. Pengkajian lanjutan dari grup peneliti ini mendapatkan bahwa seluruh AINS
yang diuji mampu menghambat sintesis PGE-2, sementara diclofenak, indomethacin
dan nimesulide secara bermakna menghambat produksi IL-6 baik dalam keadaan
basal maupun distimulasi dengan IL-1 beta. Celecoxib dan ibuprofen hanya
menghambat produksi IL-6 yang distimulasi dengan IL-1 beta, sedangkan piroxicam
dan rofecoxib tidak menunjukkan efek yang bermakna. Tak satupun dari AINS yang
diuji menunjukkan efek yang bermakna terhadap produksi IL-8 baik dalam keadaan
basal maupun terstimulasi dengan IL-1 beta, kecuali celecoxib dan ibuprofen yang
mampu meningkatkan produksi IL-8 dalam keadaan basal. Sanchez dkk (2002)
berpendapat bahwa mekanisme kerja AINS kelihatannya multifactor dan tidak

e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
6terbatas pada kemampuan hambatan aktivitas cyclooxygenase. Efek ini memberikan
nilai tambah dalam pengobatan jangka panjang nyeri rematik.

Kesimpulan
Keluhan rasa sakit merupakan salah alasan dokter dalam pemberian
analgetika, Salah satu analgetika pilihan adalah AINS. Namun, tiap AINS memiliki
kekhasan farmakokinetik (ikatan protein dan waktu paruh) dan farmakodinamik
(potensi dan efek samping), yang merupakan pertimbangan farmakologi sebelum
peresepannya.
Selama khasiat sediaan dengan selektivitas penghambatan COX-2 tidak lebih
superior dibandingkan AINS yang ada, secara farmakologi menggunakan AINS yang
cepat diabsorpsi akan memberikan efek lebih dini, dan sediaan dengan waktu paruh
yang pendek akan terhindar dari kemungkinan akumulasi obat dan dengan demikian
akan memberikan tingkat keamanan yang lebih baik. Pada kenyataannya, tidak
satupun AINS dengan selektivitas penghambat COX-2 bebas dari efek samping pada
saluran cerna dan berbagai efek samping lainnya diluar saluran cerna, misalnya pada
sistem kardiovaskuler.
Pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antinyeri rematik
secara rasional adalah 1) AINS terdistribusi ke sinovium, 2) mula kerja AINS segera
(dini), 3) masa kerja AINS lama (panjang), 4) bahan aktif AINS bukan rasemik, 5)
bahan aktif AINS bukan prodrug, 6) efek samping AINS minimal, 7) memberikan
interaksi yang minimal dan 8) dengan mekanisme kerja multifactor.


Kepustakaan

Audeval-Gerard C, Nivet C, el Amrani AI, Champeroux P, Fowler J, Richard S.
Pharmacokinetics of ketoprofen in rabbit after a single topical application. Eur
J Drug Metab Pharmacokinet. 25(3-4):227-30,2000.
Bannwart B, Bertin P, Pehourcq F, Schaeverbeke T, Gillet P, Lefrancois G, Treves R,
Dehais J, Netter P, Gaucher A. Piroxicam concentrations in plasma and
synovial fluid after a single dose of piroxicam-beta-cyclodextrin. Int J Clin
Pharmacol Ther. 39(1):33-6,2001.
Barbanoj MJ, Antonijoan RM, Gich I. Clinical pharmacokinetics of dexketoprofen.
Clin Pharmacokinet. 40(4):245-62,2001.
Bensen WG, Fiechther JJ, McMirren JI, et al. Treatment of osteoarthritis with
celecoxib, a cyclooxygenase-2 inhibitor: a randomized controlled trial. Mayo
Clin Proc 74:1095-105,1999.
Blagbrough IS, Daykin MM, Doherty M, Pattrick M, Shaw PN. High-performance
liquid chromatographic determination of naproxen, ibuprofen and diclofenac
in plasma and synovial fluid in man. J Chromatogr. 578(2):251-7,1992.
Borenstein D. Synovial Tissue, Synovial Fluid, and Plasma Distribution of
Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs: Clinical Implications. Am J Ther.
2(12):978-983,1995.
Cannon GW, Caldwell JR, Holt P, et al. Rofecoxib, a specific inhibitor of
cyclooxygenase 2, with clinical efficacy comparable with that of diclofenac
sodium: results of a one-year, randomized, clinical trial in patients with
osteoarthritis of the knee and hip. Rofecoxib Phase III Protocol O35 Study
Group. Arthritis Rheum 43:978-87,2000.